INILAHCOM, Jakarta -- Bagi masyarakat Indonesia, mudik lebaran sudah menjadi budaya tahunan. Terutama bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar dan berstatus perantauan. Terlebih khusus lagi bagi orang-orang Muslim yang merayakan Idul Fitri, dibarengi libur panjang di penghujung bulan Ramadhan.
Beberapa hari sebelum mudik lebaran tiba, mereka sudah mempersiapkan perbekalan dan segala yang diperlukan. Terutama oleh-oleh buat sanak-saudara di hari bahagia saat kumpul bersama keluarga. Namun, tak jarang pula yang enggan mudik lebaran lantaran tak memiliki cukup perbekalan. Rasa rindu dan bimbang menyelimuti hati orang-orang yang menghadapi keadaan seperti ini.
Perasaan malu karena tak dapat mempersembahkan yang terbaik buat keluarga, juga terkadang menjadi alasan penahan mereka tetap bertahan di perantauan. Ada pula yang memaksakan diri tetap pulang walau dengan perasaan keberatan menanggung beban karena minimnya perbekalan.
Kalau bisa sedikit mengesampingkan ego, sebetulnya keluarga ataupun orangtua yang dikunjunginya tak mempermasalahkan banyaknya bekal atau banyaknya oleh-oleh yang dibawa, menjadi satu-satunya yang membuat ridho dan bahagia.
Ketulusan dan keihklasan hati seorang anak mengunjungi orang tua justru seringkali lebih dominan membuat orang tua ridho dan ikhlas kepadanya. Sebaliknya, walau dengan segudang bekal yang ia bawa, namun tak menunjukkan rasa tulus dan ikhlasnya, keridhoan dan keikhlasan orang tua dan keluarga bisa jadi akan jauh darinya.
Hal lain yang seringkali dipersiapkan adalah jamuan makanan di hari lebaran. Mereka mempersiapkan makanan-makanan terbaiknya bagi para tamu, juga keluarga yang baru pulang dari perantauan.
Mudik Seorang Hamba. Sekilas tentang mudik lebaran tadi dimaksudkan untuk mempermudah memahami “mudik” yang satu ini yaitu kembalinya seorang hamba kepada Sang Pencipta. Sebagaimana orang yang terlahir di desa lalu merantau ke kota, ia akan kembali mudik ke desa pada saatnya. Begitu juga bagi seorang hamba ciptaan Tuhan-Nya, ia pun akan “mudik” kepada-Nya.
Lalu bekal apa yang perlu dipersiapkan supaya Allah Yang Maha Pencipta ridha kepada hamba yang datang kepada-Nya? Banyaknya bekal ritual ibadah, tentu bukan satu-satunya.
Hati yang bersih, iman dan taqwa sebagai bekal perjumpaan seorang hamba kepada pencipta:
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (Q.S Asy-Syu’ra 87-89).
Dalam ayat lain dijelaskan, peranan hati sebagai objek bersemayamnya keimanan seorang hamba: “…mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan…” (QS. Al-Mujadalah: 22).
Hati yang bersih (qolbun salim) memiliki peran sangat penting dalam menentukan nasib seorang hamba di hadapan Tuhan-nya. Konsekuensi dari memiliki hati yang bersih adalah ia akan senantiasa mengikuti kebenaran, akan menjadi lahan subur bagi bersemayamnya keimanan dan berujung pada ketaqwaan. Dalam hadis Qudsi dikatakan: “..tidak akan cukup untuk-KU bumi dan langit, tetapi yang cukup menampung-KU hanyalah hati (qalb) hamba-KU yang Mukmin.”
“…sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 4)
Dalam ayat lain disebutkan: “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-An’am: 32)
Manusia Cerdas. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Manusia yang utama adalah yang paling baik akhlaknya.” Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya akhlak sehingga menjadi misi utama dalam kenabiannya. Sehingga akhlak menjadi bekal penting dalam mengarungi jalan “mudik” ke akhirat seorang hamba.
Akhlak, budi pekerti dan perilaku baik lainnya merupakan bagian dari wujud ketaqwaan. Walau pada dasarnya, tak semua orang yang berperilaku baik itu adalah orang yang bertaqwa, namun orang bertaqwa sudah pasti berakhlak baik. Sebab, berakhlak baik adalah sebuah jalan yang telah diperintahkan. Dan, ketaqwaan adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Selain akhlak baik, kecerdasan seseorang juga menjadi bekal dalam perjalanan “mudik” seorang hamba. Dalam sebuah hadis disebutkan, “orang yang paling cerdas adalah yang selalu mengingat akan kematiannya.”
Apakah cukup hanya sekadar mengingat saja? Tentu tidak. Harus ada tindakan yang dilakukan sebagai konsekuensi dari kesadaran diri dalam mengingat kematian yang akan ia hadapi.
Apa konsekuensi seorang Mukmin dan Muttaqin yang selalu mengingat akan kematiannya? Tentu, dengan menyadari ia akan mati dan dibangkitkan kembali, ia tak lagi berat hati mengorbankan apa yang ia punya untuk bekal kehidupan selanjutnya (akhirat). Ia akan selalu menyadari kehidupan dunia hanya sementara sehingga setiap apa yang ia lakukan ditujukan untuk mengharap ridho-Nya. Ia akan selalu berbuat baik kepada sesama dan tidak akan menyakiti yang lainnya karena takut akan murka Tuhan-Nya.
Jamuan Akhirat. Jamuan Allah terhadap hamba-Nya tergantung pada bekal yang dibawa seorang hamba tersebut. Bekal yang dimaksud secara garis besar dipisahkan dalam dua kelompok; Pertama, ketaatan yang dibarengi dengan kebersihan hati,keimanan dan akhlak yang baik. Kedua, kedurhakaan yang diikuti dengan perilaku buruk serta berbagai pengingkaran terhadap perintah Allah lainnya.
Jamuan seorang hamba yang taat adalah surga: “Allah menjanjikan kepada orang-orang Mukmin, lelaki dan perempuan (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘And. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 72)
Sebaliknya bagi orang yang durhaka, tempat paling buruk telah menantinya: “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 14)
Ketika seseorang tak memiliki cukup perbekalan untuk mudik lebaran, tahun depan masih dapat melakukan persiapan dan perbaikan. Namun, tak ada jalan kembali bagi seorang hamba yang sudah menemui perjalanannya “mudik” ke akhirat. Manusia hanya memiliki satu kesempatan hidup di dunia dan ketika mendapat keridhoan-NYA, ia akan bahagia selama-lamanya, sedangkan jika mendapat murka-Nya, ia akan mendapatkan penyesalan selama-lamanya.[ ]
Sumber IslamIndonesia