LATAR belakang dipilihnya momentum hijriyah bukan berarti mengecilkan arti dan peran momentum lain sebagaimana disebutkan dalam artikel terdahulu, tetapi ini disepakati semata-mata demi untuk memberikan citra positif ajaran Islam yang terbebas dari kultus individu penganjur utamanya, sebagaimana ditemukan dalam sistem kalender lain.
Jika dipilih tahun kelahiran atau tahun wafatnya Nabi Muhammad Saw, maka seolah-olah Nabi Muhammad Saw memegang peran sentral di dalam ajaran Islam, padahal diketahui bersama bahwa sendi utama ajaran Islam itu ialah Al-Qur’an, wahyu atau Kalam Allah Swt. Demikian pula pelantikan beliau sebagai Nabi dan peristiwa Isra’ Mi’raj, tidak lebih utama dari pada peristiwa hijrahnya beliau ke Yatsrib (Madinah).
Argumen dipilihnya hijrah Nabi ke Yatsrib antara lain:
1. Dalam Al-Qur’an sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru).
2. Masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah ke Madinah.
3. Umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat Hijriyah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik.
Tanggal 1 Muharram 1 Hijriyah bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Penetapan tahun baru Hijriyah ini ditetapkan langsung oleh keluarnya keputusan Khalifah Umar yang ditandai keluarnya Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Yerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi pada tahun ke 17 H (638 M).
Kalender Hijriyah setiap tahunnya lebih 11 hari daripada kalender Miladiyah, sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender itu semakin mengecil. Angka tahun Hijriyah pelan-pelan “mengejar” angka tahun Masehi. Menurut Marshall GS Hodgson dalam The Venture of Islam, Satu abad kalender Islam dicapai dalam satu abad kalender Miladiyah dikurangi tiga tahun.
Pada tahun satu Hijriyah, ada perbedaan enam abad ditambah 21 tahun (622M). Pada 100 H, ada perbedaan enam abad 18 tahun (100+618=tahun 718M.). Pada 200 H, enam abad ditambah hanya 15 tahun (815 M). Ketika sampai pada 700 H, perbedaannya adalah enam abad tahun 1300 M. Menurut rumus di atas keduanya akan bertemu pada 20526 Masehi bertepatan dengan 20526 Hijriyah.
Pemilihan nama-nama bulan lebih dihubungkan dengan kondisi obyektif dunia Arab ketika itu. Misalnya, disebut bulan Muharram karena pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan perang.
Pada Oktober, daun-daun menguning sehingga dinamai Shafar (“kuning”). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi’) berturut-turut dinamai Rabi’ul Awwal dan Rabi’ul Akhir. Januari dan Februari adalah musim dingin (jumad atau “beku”), sehingga dinamai Jumadil Awwal-Jumadil Akhir. Salju mulai mencair (Rajab) pada Maret. Datanglah musim semi pada April dinamai Sya’ban (syi’ib=lembah), karena pada saat ini, saatnya turun ke lembah-lembah untuk mengolah pertanian atau menggembala ternak.
Pada Mei, suhu mulai membakar kulit, lalu suhu meningkat pada Juni, inilah bulan Ramadhan (“pembakaran”) dan Syawwal (“peningkatan”). Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzul’Qa’dah (Qa’id=duduk). Akhirnya, Agustus dinamai Dzul-Hijjah, sebab pada bulan ini masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim As.
Sistem kalender Miladiyah dan Hijriyah masing-masing memiliki keunggulan karena bulan dan matahari yang dijadikan patokan sama-sama ciptaan Tuhan yang begitu setia mengikuti perintah-Nya, tidak pernah bergeser mengalami kemajuan atau keterlambatan barang sedikitpun sepanjang dunia Bimasakti atau biasa disebut milky way masih normal. Ini sejalan dengan apa yang ditegaskan di dalam QS Al-Isra’/17:12 dan QS Yasin/36:38-40. [*]