Oleh : Andi Ryansyah
INILAHCOM, Jakarta – Karena keyakinan itu, K. H.Abdullah Syafi’ie tak pernah canggung untuk berdialog dengan semua lapisan masyarakat. Meskipun ia tergolong mampu, namun ia terbuka dengan masyarakat sosial yang paling bawah.
Sangat senang bergaul dengan karyawan, tukang-tukang, yatim piatu, ibu-ibu tua yang miskin dan murid-murid As-Syafi’iyah, serta mereka yang tergolong orang tidak punya. Ia juga berdialog dengan kaum cendekiawan muda.
Brigjen (Pur) Pol. Sutjipto Judodihardjo menceritakan pengalamannya yang berkesan mengenang KH Abdullah Syafi’I. Sewaktu ia masih menjadi Kapolri ketika itu, dan baru saja dilantik oleh presiden, di rumahnya, banyak orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Di tengah-tengah orang yang berdatangan itu, tampak K. H.Abdullah Syafi’ie, yang ketika itu dikenal sebagai ulama ‘tradisional’.
Seperti halnya tamu-tamu lain, K. H.Abdullah Syafi’ie tampak ringan saja berbicara padanya. Tidak kaku. Malah dalam sebuah kesempatan, K. H.Abdullah Syafi’ie mengundangnya untuk datang ke rumah. Pak Sutjipto pun mengabulkan. Sampai di sana, ia kaget melihat tamu-tamu yang datang karena bukan hanya ulama-ulama ‘tradisionalis’ yang sekelompok dengannya, tapi juga ada tokoh-tokoh Masyumi seperti M.Natsir, M.Roem, dan lain sebagainya.
Letjen H. Ali Sadikin pernah menceritakan ketika dirinya masih menjadi Gubernur Jakarta. Menurut Ali Sadikin ketika itu, ia sedang seru-serunya mencanangkan “proyek-proyek” yang bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya bagi pemerintah kota Jakarta. “Proyek-proyek” itu antara lain perjudian.
Masih diingat ketika itu, serangan yang paling gencar adalah dari ulama, termasuk K. H.Abdullah Syafi’ie. Ali Sadikin penasaran mendapat serangan yang begitu gencar. Ia lalu berusaha agar bisa bertemu dengan K. H.Abdullah Syafi’ie. Pertemuan itu pun terjadi. Maka dalam acara makan bersama, tanpa canggung-canggung lagi, K. H. Abdullah Syafi’ie sambil mengisi piringnya, berbicara masalah yang hangat dengan Ali Sadikin.
K. H.Abdullah Syafi’ie berbicara dengan polos. Tapi itu justru membuat Ali Sadikin kagum. Sebab berdasarkan pengalamannya, biasanya orang akan menunduk-nunduk jika berhadapan dengannya. Namun K. H.Abdullah Syafi’ie biasa-biasa saja, seperti sahabat karib dengan Ali Sadikin. Sementara tamu-tamu lainnya tetap canggung, bersikap resmi dan kaku.
Dibalik sikap tenangnya, K.H. Abdullah Syafi’I adalah ulama yang berani dan lantang. Sikapnya yang berani dan terus terang, namun loyal pada program MTQ Nasional, mendatangkan rasa hormat dari ‘musuhnya’, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang kemudian malah menjadi sahabatnya. Bahkan Ali Sadikin menganggap K.H.Abdullah Syafi’ie sebagai abangnya. Dan setelah menjadi Gubernur, Ali Sadikin pun diminta menjadi penasehat Yayasan Perguruan Asy-Syafi’iyah.
Bersahabat dengan Lintas Mazhab
Meski K. H.Abdullah Syafi’ie menganut mazhab Syafi’iyyah, namun ia tidak fanatik buta. Tokoh Muhammadiyah K.H. Hasan Basri bercerita, sewaktu dirinya menjadi khatib shalat Jum’at di sebuah masjid yang berada di Yogyakarta, K. H.Abdullah Syafi’ie menjadi makmum. Setelah adzan, K.H. Hasan Basri langsung berdiri menyampaikan khutbahnya.
Tak ada shalat Qabliyah seperti yang biasa dilakukan di Masjid Al-Barkah yang dipimpin oleh K. H.Abdullah Syafi’ie. Tapi ternyata K. H. Abdullah Syafi’ie, seperti jamaah lain. tidak melakukakan shalat Qabliyah.
Menurut K.H. Abdussalam Djaelani, pandangan K. H.Abdullah Syafi’ie terhadab mazhab cukup fair dan luas. Toleransinya pun besar. Dapat berkawan dengan orang-orang dari segala mazhab dan golongan manapun, entah itu Maliki, Hambali, Hanafi, atau Muhammadiyah. Tetapi haluan K. H.Abdullah Syafi’ie pada Ahlussunnah wal jamaah tak akan bergeser.
K.H.Abdullah Syafi’ie dekat dengan ulama kalangan NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya. K.H.Abdullah Syafi’ie dekat dengan Tokoh Muhammadiyah Buya Hamka, Tokoh Persis dan Masyumi M.Natsir, Tokoh NU KH. Masykur, KH. Syaikhu, dan KH. Idam Khalid. Meskipun K.H.Abdullah Syafi’ie bukan orang di dalam ketiga ormas tersebut.
Kelapangan KH Abdullah Syafi’i terhadap perbedaan di antara umat Islam tercermin dari jejaknya menggalang persatuan umat.Tahun 1973, ketika K.H. Abdullah Syafi’ie bersama-bersama ulama lain mendirikan Majelis Muzakarah Ulama. Sebelum mendirikan majelis itu, K.H.Abdullah Syafi’ie datang ke rumah K.H. Abdussalam Djaelani, untuk mendiskusikan rencana dengannya.
KH. Abdussalam Djaelani sangat menyetujui dan mendukung rencana itu baik tenaga, pikiran, dan harta. Kemudian mereka pergi ke KH. Abdullah Musa di Tegal Parang. KH. Abdullah Musa pun setuju. Mulailah mereka bergerak. Mereka undang seluruh ulama yang ada di Jakarta tanpa memandang golongan. Berkumpulah dalam forum itu ulama-ulama dari NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya, membahas ide khilafiyah dalam soal furu’iyah.
Pertemuan Majelis Muzakarah Ulama itu pertama kali diselenggarakan di rumah KH. Abdullah Musa. Kemudian di Attahiriyah, dan berikutnya di rumah KH. Abdussalam Djaelani.
Lantang Menentang Kemaksiatan
Kepedulian K. H.Abdullah Syafi’ie demi nasib umat yang membuatnya kerap bersuara lantang menentang kemaksiatan. Ia kerap berlaku terus terang, berani, dan blak-blakan. Demi membentengi umat kala itu, ia menerangkan hukum judi dari segi fiqih dan kerugiannya di akhirat kelak sebagai balasan dari dosa-dosa di dunia.
Kepeduliannya menembus lapisan masyarakat. Demi menyelamatkan moral masyarakat bawah, Suaranya kadang menggebu-gebu, kadang mengiba-iba mengimbau umat agar selamat dari maksiat. Tetapi seketika dapat berubah berapi-api ketika gubernur yang melegalkan judi dan melokalisasi pelacuran.[bersambung]
Sumber jejakislam