SUATU hari, seorang lelaki ini didesak kebutuhan mendapatkan pinjaman uang demi pelaksanaan operasi cesar isterinya yang sudah hamil selama 11 bulan tapi taaka kunjung melahirkan. Lelaki ini tak menyangka bahwa himpitan ekonomi terus menjadi kisah hidupnya sedari sebelum menikah sampai menghamili isterinya dan menanti bayi yang dikandungnya. Singkat cerita, dia tak punya uang namun harus menyediakan uang saat itu juga.
Dicobanya meminjam ke orang terpandang di kampungnya, semuanya angkat tangan dengan beratus alasan. Masuklah dia ke masjid dan shalat istikharah. Setelah bersujud memohon petunjuk kepada Allah, kaki lelaki ini melangkah ke rumah kecil sebelah sungai milik tukang tambal ban yang biasa bertemu dengannya di majelis pengajian. Diberanikannya menyampaikan kebutuhannya. Bagaimana jawaban bapak tukang tambal itu? Itu yang membuat saya meneteskan air mata.
Tukang tambal ban yang senantiasa tersenyum walau beberapa hari tak ada ban bocor atau meletus itu menjawab: "Alhamdulillah, terimakasih banyak ya, Anda telah memilih saya sebagai orang yang dimintai tolong. Inilah cara Allah memberikan pahala kepada saya. Sayangnya, uang saya cuma separuh dari jumlah yang Anda butuhkan. Ini Rp5 juta."
Kisah ini panjang dan ber-ending mengharukan. Tapi saya mau hentikan di sini dulu kisahnya dengan kesimpulan bahwa masih ada orang yag berterimakasih dimintai tolong saudaranya. Yang banyak adalah mengeluh, mengumpat dan menolak, bukan?
Pangkat hati sungguh berperingkat. Bukan atas dasar gelar atau status, melainkan kecerdasan hati dalam beragama. Salam, AIM. [*]