BUKAN hanya senyuman yang bisa dianggap "bahasa internasional" yang bisa dipahami semua orang sebagai simbol keakraban dan atau kebahagiaan. Bersalamanpun juga menjadi simbol yang bermakna sama dengan senyuman.
Kesan akrab, bersaudara atau bersahabat sangatlah kental dalam bersalam-salaman ini. Orang tak mau senyum dan tak mau salaman sangat mudah dikira sebagai orang yang dingin, kaku, kasar, arogan atau bahkan lebih dari itu.
Budaya senyum dan bersalaman adalah budaya yang sangat baik dan menyimpan seribu satu rahasia. Tensi tingginya kata, tegangan tingginya rasa, dan keras kepalanya pikir lebih mudah dinetralkan dengan senyuman dan bersalaman tangan. Kaidah ini berlaku untuk semuanya, kecuali untuk mereka yang telah mati hatinya, kebal perasaannya dan sempit pikirannya.
Barusan, saat shalat Jum'at, masjid di Mekah ini full manusia. Masjid luas terasa kurang. Ada saja orang baru datang yang tiba-tiba merusak shaf dengan duduk sembarangan di depan shaf yang sudah rapi terbentuk. Marahlah orang di samping saya. Dia merasa tak bisa sujud dengan spasi shaf yang menyempit. Pertengkaran mulut tak terhindarkan. Saling mendelikpun sudah mulai dipamerkan. Saya diam saja sambil mendengar ocehan mereka dalam bahasa Arab. Hitung-hitung itu sebagai pelajaran bahasa Arab kelas dewasa.
Tiba-tiba datanglah seorang tua berbaju batik merah putih dengan songkok hitam khas Indonesia. Mengikuti adat kebiasaan di masjid kampungnya, disalaminya semua orang yang dilaluinya sambil tersenyum. Orang Arab tak biasa dengan tradisi ini, namun semuanya menerima uluran tangan itu dengan senyum. Bahkan ada yang tertawa karena menganggapnya unik atau aneh, tapi yang ketawa itu mengacungkan jempol sambil memberikan tempat untuk kakek tua itu.
Ternyata, tips termudah dan terdamai mencari tempat dudukuntuk Jum'atan di masjid yang sangat ramai itu adalah dengan bersalaman dan tersenyum kepada jamaah yang sudah ada duluan. Tidak termasuk bid'ah dlalalah dalam berjum'atan bukan? Senanglah tersenyum dan berjabat tangan. Salam, AIM@Mekah. [*]