MASJID itu masih terlihat megah. Kemegahannya tidak lekang walau dihujani kedengkian dan kebencian. Langkah demi langkah menaranya nampak semakin gagah. Gerbangnya tinggi walau sudah kehilangan identitas. Bukan lagi kaligrafi atau ukiran seni khas timur tengah abad pertengahan.
Selintas jiwaku melintasi lorong waktu. Yah... Kota ini memang ramai. Para musafir berdatangan dari penjuru dunia. Mereka yang pernah melihat Baghdad, Qairo dan Qairawan, akan dibuat penasaran dengan keindahan Cordoba. Kota yang sangat bersih. Pancuran dengan taman hijau berbunga terdapat di mana-mana. Sekeliling masjid dipenuhi dengan pohon jeruk. Para musafir boleh memetiknya sesuka hati. Tidak ada yang kelaparan di sini.
Mereka yang masuk melalui sebrang sungai akan melihat kemegahan al jisr atau qantharah ad dahr. Sebuah jembatan yang dibangun di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, membelah al waadi al kubro. Jembatan dengan panjang 400 meter lebar 40 meter dan tinggi 30 meter. Jembatan ini masih berdiri kokoh sebagai kemajuan teknologi zaman itu.
Terdapat 900 kamar mandi umum. Di saat yang sama berbagai belahan kota Eropa tidak tahu cara bersih diri. Ada tiga ruang kamar mandi besar. Ada air yang sangat menyejukkan di musim panas. Ada air hangat untuk sepanjang musim. Ada air panas untuk musim dingin. Sebagian orang berobat dengan terapi air di Hammam ini. Cordoba adalah pusat pengobatan dunia. Berbagai suku bangsa datang hanya untuk berharap kesembuhan.
Jantungku berdegup kencang, menatap pintu masjid yang indah. Di balik pintu dalam masjid itu penuh dengan pohon jeruk. Warna orange menyala berpadu dengan daun hijau nan subur. Amat kontras memberi kesan cerah bagi setiap mata yang memandang.
Anak-anak duduk dengan rapi. Berbaris mengantri memperdengarkan hapalan Quran. Para guru dengan khidmat menyimak hapalan mereka. Masuk ke ruang utama terlihat banyak halaqah. Masyayikh yang wajahnya memancarkan cahaya. Para murid yang khusyuk mendengarkan setiap wejangan dan mencatat. Makin mendekat takjub hatiku dibuatnya. Ternyata bukan hanya majlis ilmu Quran dan hadits. Ada halaqah yang mengajarkan ilmu falak, geografi, kedokteran dan disiplin ilmu lainnya.
Subhaanallaah. Cordoba adalah mercusuar peradaban dunia.
60 orang pekerja masjid sibuk mondar mandir melayani tetamu atau mmbersihkan setiap detail ruangan. Mereka berpakain putih bersih, dengan wajah tersenyum ramah menyambut setiap tetamu. Ukiran-ukiran di dinding masjid amatlah indah. Kaligrafi bersepuh logam mulia begitu indahnya di setiap penjuru masjid. Berbagai kayu ada di sini. Dipajang di dinding sebagai ukiran hiasan masjid. Kayu gaharu di letakkan dl beberapa sudut ruang membuat wangi seisi masjid. Lantai putih batu marmer didatangkan dari negeri jauh. Lampu-lampu dinding dan atap berbagai warna. Sungguh pemandangan yang tidak akan terlupakan.
Tiba-tiba alunan ayat itu berubah rintihan. Anak-anak tak berdosa itu menangis sedih. Memeluk jasad ayah ibunya yang sudah tidak lagi bernyawa. Teriakan orang-orang terdengar di seluruh sudut kota. Mereka merintih, mana saudara seimanku. Selamatkan kami. Wahai Sultan Bayazid, ayahmu adalah pahlawan penakluk Konstantinopel. Selamatkan kami di sini, kami hanya diberi dua pilihan, murtad atau kami mati dengan siksaan yang tidak berprikemanusiaan.
Jalan-jalan dipenuhi mayat bergelimpangan. Orang-orang lari menyelamatkan diri dari angkara murka kedengkian dan kebencian. Mereka yang tertangkap disekap di bawah tanah. Tidak ada harapan untuk keluar dengan selamat. Hanya menunggu eksekusi tangan-tangan jahat nafsu yang dikuasai iblis penuh benci. Tidak pernah ada yang tahu berapa jumlah korban. Mereka hanya bertanya, mengapa kami dibunuh, diusir, dianiaya? Apakah hanya karena beriman kepada Allah?
Kini, tak ada lagi alunan azan yang membahana memenuhi seluruh kota. Menara masjid tempat azan sudah diganti lonceng dan tiang salib. Halaqah-halaqah ilmu di penjuru masjid sudah berganti menjadi altar-altar doa atau sarkofagus orang-orang yang ditahbiskan suci. Mihrab sepi kehilangan penghuni. Ia tidak lagi memancarkan cahaya. Buah jeruk yang terdapat di berbagai penjuru kota tidak lagi manis, pahit tidak bisa dimakan. Walau berlimpah hanya dibiarkan berjatuhan tergeletak di tanah begitu saja.
Ya. Puncak peradaban manusia itu tinggal kenangan. Keindahan itu sudah lenyap ditelan kebencian dan kedengkian. Menyisakan cerita, hikayat dan legenda. Bahwa di sini islam pernah berjaya. Lagi-lagi tentang kedengkian, pantaslah berlindung darinya diajarkan baginda Rasulullah atas wahyu yang disampaikan. Wa min syarri haasidin idzaa hasad.
Entah berapa tangisan yang sudah meratapi Cordoba. Namun harus diakui luka itu masih pedih terasa. Maafkan kami Cordoba.
Segala sesuatu yang sampai kepada kesempurnaan akan berkurang.
Janganlah manusia tertipu dengan tipu daya hidup dunia.
Seperti yang kamu lihat semua ini hanyalah tentang pergantian.
Siapa yang pernah disenangkan masa sesaat, maka akan datang masa panjang yang mebuatnya menderita. [AIK]