POLIGAMI adalah sah, karena dasar hukumnya ada di dalam Al-quran surat An-nisa ayat 3: "Maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu sukai dua, tiga atau empat. Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja."
Adil di ayat tersebut adalah yang terkait dengan materi atau fisik seperti rumah, nafkah, giliran, dan sebagainya. Tapi kalau masalah cinta atau hati, tak seorang pun bisa adil termasuk Nabi Muhammad. Adapun mengenai batasan adil itu ada di surat An-nisa ayat 129:
"Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian"
Mengapa Nabi Muhammad berpoligami jika dikatakan beliau tidak bisa berlaku adil? Ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’.
Muhammad bin Sirrin pernah menanyakan ayat tersebut kepada Ubaidah, dan dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 29 tersebut dalam masalah cinta dan bersetubuh.
Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil dalam masalah cinta diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah dari Allah dan berada dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh, terkadang bergairah dengan istri yang satu namun terkadang tidak. Hal ini diperbolehkan asal bukan disengaja, sebab berada diluar kemampuan seseorang.
Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan, bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta di antara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat dikuasai.
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha merupakan istri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi karena adanya cinta dan kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut dimaafkan.
Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan untuk menyamakan dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih mendekati sikap adil.
Penulis Fiqh Sunnah menyarankan; meskipun demikian, hendaknya seorang suami memenuhi kebutuhan jima istrinya sesuai kadar kemampuannya.
Imam al Jashshaash rahimahullah dalam Ahkam Al Qur’an menyatakan bahwa, "Dijadikan sebagian hak istri adalah menyembunyikan perasaan lebih mencintai salah satu istri terhadap istri yang lain."
Sebagai mu’min, kita harus menerima ketentuan yang Allah buat. Kalau kita mengingkari tentang ayat poligami ini, berarti kita mengimani sebagian ayat dan menolak sebagian ayat, padahal di ayat lain Allah berfirman:
"Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah tersesat, sesat yang nyata." (QS Al-Ahzab: 33-36). []
↧
Ketidakadilan dalam Berpoligami Terletak di Cinta
↧