TAK kapok, Pada 21 November 1600, Belanda mengirim pasukan ke Malaka. Kali ini di bawah komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah-rempah di pantai Aceh.
Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.
Peristiwa terbunuhnya de Houtman penawanan Jacob Cornelisz van Neck, sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda sekaligus menunjukkan kewibawaan Keumala ketika Mahkamah Amsterdam menjatuhkan hukuman denda kepada Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.
Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung. Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranje sent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy.
Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden tersebut sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.
Denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal, menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatannya berupa lada, lalu pergi meninggalkan Aceh.
Malahayati memerintahkan pasukannya bergerak ke laut mengejar Belanda. Dengan armada sampan dan perahu kecil mereka mengejar kapal Belanda yang ukurannya lebih besar.
Untuk mempercepat laju kapalnya, Belanda membuang sauh agar kapal cepat melaju di laut dan bebas bergerak menghindari kejaran pasukan Keumalahayati menuju pulau Ceylon. Namun keduanya dapat dikejar dan akhirnya ditahan di Aceh.
Sumber: [atjehcyber.net]