INILAHCOM, Jakarta - Musa Kazhim sebagai salah satu pembicara di kuliah umum yang diadakan Universitas Paramadina Jumat lalu, merupakan seorang penerjemah edisi Indonesia dari karyanya Toshihiku Izutsu mengenai sufisme Ibn 'Arabi.
Menurut beliau dalam kata pengantarnya, menerjemahkan tulisan Ibn 'Arabi ibarat meniti jalan sempit nan licin. Alasan paling sederhananya adalah kecanggihan Ibn 'Arabi memainkan kata-kata bahasa Arab yang superlentur ketika mengungkapkan pikiran-pikirannya yang kaya dan licin, dan mungkin juga liar.
Menurutnya lagi, hampir semua istilah kunci dalam pemikiran Ibn 'Arabi sengaja menggunakan kata-kata bahasa Arab yang longgar dan kaya. Dan dalam hal ini, Ibn 'Arabi jelas tidak orisinal. Banyak pemikir Islam, termasuk Ibn 'Arabi, yang percaya bahwa bahasa Al-Quran juga memiliki pola seperti itu. Malah Al-Quran jauh lebih kaya dan mendalam, sehingga setiap hurufnya memiliki makna yang ditujukan untuk berbagai keadaan rohani pembacanya masing-masing tanpa membuang makna umumnya. Dan karena itulah, Al-Quran menjadi obat bagi semua penyakit manusia yang berbeda-beda dan bertingkat-tingkat.
Sebagai penutup, beliau mengakui bahwa upaya-upaya akademis untuk memahami Ibn 'Arabi tak ubahnya seperti mengajar orang berenang tanpa menyentuh air. Memang tak ada ruginya dan pasti besar gunanya, tapi ia tak sebanding dengan merasakan langsung nikmatnya berenang. Namun, lagi-lagi disinilah letak paradoksnya, justru di saat seseorang sedang berenang di lautan itulah, berbicara dan menulis secara rasional dan akademis menjadi sulit dan hampir mustahil. (DOS)