ISYARAT berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in menunjukkan betapa elastisnya hukum Islam. Sumber-sumber hukum ternyata bukan hanya yang secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Hadits tetapi juga kreatifitas dan kecerdasan para ulama.
Contoh dalam masa Nabi, ketika Mu’az ibn Jabal diutus menjadi Gubernur di Yaman oleh Nabi. Suatu ketika Nabi bertanya kepadanya bagaimana engkau menghukum perkara di sana? Dijawab oleh Mu’az aku memutuskan berdasarkan apa yang telah ditetapkan Allah Swt di dalam Al-Qur’an.
Nabi bertanya lagi, jika engkau tidak mendapatkan hukumnya di dalam Al-Qur’an? Dijawab oleh Mu’az, aku memutuskannya berdasarkan hadits Rasulullah Saw. Ditanya lagi oleh Nabi, jika engkau tidak mendapatkannya di dalam hadits, maka dijawab lagi oleh Mu’az, aku memutuskan berdasarkan ijtihadku ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah mengapresiasi kecerdasan Mu’az.
Dari dialog Mu’az ibn Jabal, Gubernur Yaman, dapat dipahami bahwa semenjak awal perkembangan Islam pada masa Nabi peran ijtihad sangat penting dalam perkembangan hukum fikih. Apa yang dilakukan oleh Mu’az tentu bisa dilakukan pula oleh Gubernur di daerah lain.
Seperti kita ketahui perkembangan dunia Islam berlangsung begitu cepat semenjak pada masa Nabi. Dikatakan oleh para ahli bahwa tidak ada orang yang menyebarkan suatu faham yang ajarannya menyebar kepada hampir separuh belahan bumi yang penganjurnya masih hidup selain Islam.
Islam dan Nabi Muhammad memang betul-betul luar biasa. Kini agama Islam menjadi agama terbesar di dunia yang dianut oleh sekitar 1,5 miliar manusia. Seolah tidak ada suatu tempat di bawah kolong langit bumi ini tanpa dihuni oleh umat Islam.
Dalam kasus lain Nabi juga memberikan otonomi dan kepercayaan kepada para sahabatnya di dalam mengembangkan ajaran Islam. Pernyataan Nabi yang mengatakan: “Sahabatku tidak akan pernah mungkin bersepakat kepada hal-hal yang tidak benar”.
Hal ini mengandung maksud bahwa para sahabat bisa menggunakan kecerdasannya, tentunya yang sejalan dengan Al-Qur’an dan hadits, dalam mengembangkan ajaran Islam. Banyak contoh Nabi memberikan kemerdekaan kepada para sahabatnya untuk mengembangkan pemahamannya tentang syari’ah Islam.
Suatu ketika mengutus dua orang sahabatnya ke Bani Quraidhah untuk membawa pesan kepada pimpinan daerah itu. Nabi menghimbau agar secepatnya sampai ke Bani Quraidhah dengan menggunakan bahasa: “Jangan shalat (Ashar) sebelum sampai ke Bani Quraidhah”.
Muncul masalah di lapangan, Bani Quraidhah masih lumayan jauh, sementara magrib sudah mau masuk. Salah seorang sahabat Nabi shalat dengan alasan shalat Ashar dan Magrib tidak bisa dijama. Sementara sahabat lain tidak menyelenggarakan shalat Ashar karena belum sampai di Bani Quraidhah. Al-hasil, setelah sahabat Nabi kembali dan melaporkan peristiwa yang dialami keduanya, lalu Nabi membenarkan kedua-duanya.
Kasus yang hampir sama juga pernah dialami sahabatnya yang melakukan perjalanan panjang di Padang Pasir. Keduanya bermimpi basah di perjalanan. Seorang di antaranya mandi junub dengan berguling-giling di pasir dengan alasan pasir pengganti air dengan analogi dalam tayammum.
Sahabat lainnya cukup hanya bertayammum karena pasir tidak menggantikan air dalam soal mandi, hanya soal wudhu. Akhirnya keduanya melaporkan soal ini kepada Nabi lalu Nabi menjawab semuanya benar tetapi lain kali cukup dengan bertayammum. [*]