SAYA sesungguhnya tak hendak berkomentar masalah terompet yang ketika pertama kali membaca beritanya tersampaikan pesan bahwa ini adalah pekerjaan orang iseng semata. Namun ketika muncul berita susulan dari berbagai daerah dengan kasus yang sama maka kesan iseng berganti dengan kesan serius, yakni sebagai upaya yang memiliki tujuan khusus.
Bab terompet aslinya adalah bab kecil, kecuali terompetnya malaikat Isrofil yang akan menjadi penanda kiamat. Namun ketika terompet itu dibuat dari kertas kulit kitab suci al-Qur'an dengan jumlah produksi yang sangat banyak dan didistribusikan di berbagai daerah melalui minimarket tertentu sungguh bukan lagi perbuatan iseng. Ini adalah disengaja dengan motif yang serius.
Jelas bukan untuk kepentingan langsung berupa keuntungan bisnis atau ekonomi karena ada banyak bahan lain yang lebih murah dan menarik. Jelas bukan pula motif sosial keagamaan dengan niat mensosialisasikan al-Qur'an, karena ternyata hanya kulitnya saja bukan isinya, untuk ditiup pula dan bukan untuk dibaca. Yang pasti, ini adalah game psikologis atau test psikologi umat Islam dalam kontek kesadaran berbangsa dan bernegara.
Biasanya, kalau sudah menjadi ramai seperti ini, muncullah para tokoh untuk berkata "jangan terpancing, dan jangan reaksi," sementara pemerintah mendiamkan saja seakan masalah sudah selesai dan tak akan terulang lagi. Saat ini, sungguh saya ingin pemerintah beraksi mencari sang tukang pancingnya, menangkap dan memberikan pelajaran pada publik bahwa setiap perbuatan pasti ada akibatnya.
Terlalu banyak kasus serupa yang dibiarkan tanpa ada pendidikan hukum pada masyarakat. Beberapa waktu yang lalu tentang sandal bertuliskan Allah, sebelumnya pornografi dan aliran radikal masuk dalam buku pelajaran sekolah dasar dan menengah dan kasus lainnya. Masihkah akan didiamkan? Salam, AIM@Ponpeskot Alif Laam Miim Surabaya. [*]