ADA orang yang kekayaannya sudah melampaui kebutuhan hidupnya bahkan melampaui apa yang dibutuhkan anak cucunya dalam hitungan matematika kehidupan normal. Namun dia begitu semangat untuk tetap mengumpulkan harta jauh melampaui semangatnya mengumpulkan amal ibadah dan kebaikan untuk masanya setelah mati nanti.
Ada orang yang kekayaannya tak lebih dari gubuk tempat berlindung dan pakaian sederhana untuk shalat, namun semangatnya beribadah dan beramal baik jauh melampaui semangatnya mencari harta kekayaan. Dengan tersenyum selalu dia berkata: "orang tak shalat saja disediakan rizki, masa orang shalat dan semangat berbuat baik tidak diberikan rizki."
Dua model di atas barangkali adalah dua model berbeda yang mengambil posisi sangat ekstrem. Namun jelas kedua model manusia seperti di atas nyata adanya. Sebenarnya ada yang lebih ekstrem lagi, yakni orang yang sudah kaya masih saja korupsi dan mengumpulkan harta dengan cara yang diharamkan Allah dan orang yang sudah miskin masih saja tidak mau ibadah dan tak mau bekerja.
Akibat beragamnya model di atas, beragam pula nasib hati manusia. Ada yang kaya dan bahagia. Ada yang kaya tapi menderita plus masuk penjara. Ada yang miskin tapi bahagia. Ada pula yang sudah miskin, menderita dan masuk penjara lagi. Lalu apakah penentu bahagia sesungguhnya menjadi pertanyaan yang paling sering diajukan oleh banyak hati.
Bagaimakah harusnya kita menata hidup dalam hubungannya antara ibadah dan pencarian kehidupan? Kita bahas bersama-sama dalam kajian Rutin Pondok Pesantren kota Alif Laam Miim Surabaya pada 26 Desember 2015 setelah shalat Ashar. Judulnya adalah "Meneladani Kehidupan Rasulullah." Salam, AIM, Pengasuh. [*]