SEBAGAIMANA halnya pembagian wilayah fikih kontemporer, fikih kebhinnekaan seharusnya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari yang sangat pribadi, mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan yang nanti disebut dengan Fikih Ibadah. Pembahasannya meliputi perkara thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan biasa dimasukkan urusan jihad.
Kebhinnekaan Fikih ibadah nanti dapat dilihat dalam keragaman mazhab di dalam pelaksanaan ibadah. Mungkin mazhab Syafi’i akan lebih dominan karena sejarah panjangnya di negeri ini, mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Hambali, ditambah dengan mazhab Syi’ah.
Wilayah fikih juga mengatur hubungan pribadi dan keluarga yang kemudian disebut al-ahwal alsyakhshiyyah. Pembahasannya meliputi urusan kekeluargaan seperti urusan kawin mawin (munakahat) yang mencakup pelamaran, akad nikah, cerai, baik cerai gugat maupun cerai talak, rujuk, penyusuan (hadhanah), pengangkatan anak, pembagian warisan, wasiat, dan adat istiadat kekeluargaan. Kebhinnekaannya dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, dari Sabang sampai Marauke.
Wilayah fikih lainnya mengatur antarpersonal dan antarkeluarga, yang lazim disebut dengan mu’amalat. Fikih Muamalah lebih banyak terlihat di dalam urusan keperdayaan seperti jual beli, sewa-menyewa, dunia perbankan dan moneter, termasuk kerukunan adat dan kekerabatan antar suku.
Dalam hubungan lebih luas nanti mencakup hubungan bilateral antarnegara, region, yang sekarang ini lebih popular dengan hubungan diplomasi internasional. Termasuk dalam mu’amalah dalam arti lebih luas ialah urusan politik, yaitu menyangkut suksesi kepemimpinan dan tata cara penyelenggaraan negara, yang lebih popular dengan istilah Fikih Siyasah.
Wilayah khusus yang mengatur urusan kepinaan (jarimah, ‘uqubah) sesungguhnya efek yang biasa muncul dari hubungan interaksi muamalat. Dalam hukum positif wilayah hukum ini lebih dikenal dengan Hukum Pidana, yaitu aturan tentang berbagai pelanggaran yang bisa mengganggu kenyamanan publik.
Para pelakunya dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukannya. Kebhinnekaannya nanti dilihat dari kecenderungan kualitas dan kuantitas perbuatan pidana atau kriminal di dalam masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wilayah hukum Fikih Kebhinnekaan mencakup urusan ibadah (Fikih Ibadah), hukum kekeluargaan (Fikih Munakahat), urusan properti dan keperdataan (Fikih Mu’amalat), urusan yang berhubungan dengan masalah politik (Fikih Siyasah), dan urusan kriminal dan kepidanaan (Fikih Jarimah).
Adapun urusan Jihad, yang oleh fikih kontemporer sering dimasukkan ke dalam bagian fikih, khusus mengatur menyangkut pembelaan umat dan agama Islam, termasuk masalah peperangan. Penulis melihat masalah jihad lebih tepat diintergrasikan ke dalam wilayah-wilayah fikih, karena jihad lebih merupakan motivasi ketimbang perbuatan hukum. [*]