INILAHCOM, Jakarta -- Suudzan [سوءالظن] artinya berburuk sangka kepada pihak lain. Dan itu terjadi ketika seseorang memiliki penilaian buruk kepada pihak lain.
Sebagaimana umumnya aktivitas manusia yang berhubungan dengan orang lain, di sana ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Dibolehkan artinya tidak ada ancaman hukuman bagi pelakunya di akhirat. Dilarang, karena ada ancaman hukuman bagi pelakunya di akhirat.
Seperti itu pula su’udzan. Ada yang memberikan konsekuensi buruk di akhirat dan ada yang tidak memberikan konsekuensi buruk di akhirat.
Dalam Mausu’ah al-Akhlak al-Islami dinyatakan,
وضابطسوءالظنالذييؤاخذبهصاحبه: هوكلظنليسعليهدليلصحيحمعتبرشرعًا،استقرفيالنفس،وصدقهصاحبه،واستمرعليه،وتكلمبه،وسعىفيالتحققمنه
“Batasan suudzan yang pelakunya mendapat ancaman hukuman adalah semua dzan yang tidak didukung dalil shahih, yang dinilai oleh syariat, tertanam dalam hati, dan dibenarkan oleh orangnya sendiri, dan itu dilakukan terus-menerus, hingga dia ucapkan, serta berusaha untuk menggalinya. (al-Mausu’ah al-Akhlak al-Islami, Durar at-Tsaniyah).
Diantara bentuk suudzan yang haram,pertama, suudzan kepada Allah. Suudzan kepada Allah tertamasuk dosa yang sangat besar.Ibnul Qoyim mengatakan,
أعظمالذنوبعنداللهإساءةالظنبه،فإنالمسيءبهالظنقدظنبهخلافكمالهالمقدس،وظنبهمايناقضأسماءهوصفاته
“Dosa yang paling besar di sisi Allah adalah suudzan dengan-Nya. Karena orang yang suudzan kepada Allah, dia memiliki prasangka yang bertentangan dengan kesucian-Nya, dia berprasangka yang mengurangi kesempurnaan nama dan sifat-Nya. (al-Jawab al-Kafi, hlm. 96).
Kedua, suudzan kepada orang mukmin yang soleh. Seperti suudzan kepada para nabi. Bahkan an-Nawawi menyebutkan, suudzan dengan nabi, adalah tindakan kekufuran dengan sepakat ulama. Beliau mengatakan,ظنالسوءبالأنبياءكفربالإجماع “Suudzan kepada para nabi termasuk kekufuran dengan sepakat ulama. (Syarh Shahih Muslim, 14/156).
Termasuk juga suudzan dengan mukmin yang zahirnya baik. Bukan penganut kesesatan, atau ahli maksiat. Al-Haitsami dalam kitabnya az-Zawajir menggolongkan Suudzan kepada mukmin yang baik sebagai salah satu dosa besar.
Suudzan jenis kedua adalah suudzan yang tidak diancam hukuman di akhirat.Ada beberapa bentuk, diantaranya:
Pertama, suudzan yang mubah. Mencakup suudzan kepada orang yang dikenal memiliki kesesatan pemikiran, atau ahli maksiat, atau suudzan kepada orang kafir.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
يحرمسوءالظنبمسلم،أماالكافرفلايحرمسوءالظنفيه؛لأنهأهللذلك،وأمامنعرفبالفسوقوالفجور،فلاحرجأننسيءالظنبه؛لأنهأهللذلك
“Haram suudzan kepada sesama muslim. Sementara kepada orang kafir, tidak terlarang suudzan kepadanya. Karena dia memang layak diberi suudzan. Sementara orang yang dikenal suka berbuat dosa dan maksiat, tidak masalah memberikan suudzan kepadanya. Karena memang dia layak untuk mendapatkannya. (as-Syarh al-Mumthi’, 5/300)
Kedua, suudzan yang dianjurkan. Tujuan utama suudzan yang dianjurkan adalah dalam rangka menghindari madharat yang lebih besar, disebabkan adanya sengketa dengan orang lain.
Abu Hatim al-Busti mengatakan,
يستحبمنسوءالظن.. كمنبينهوبينهعداوةأوشحناءفيدينأودنيايخافعلىنفسهمكرهفحينئذيلزمهسوءالظنبمكائدهومكرهلئلايصادفهعلىغرةبمكرهفيهلكه
“Diantara suudzan yang dianjurkan… seperti permusuhan yang terjadi antara seseorang dengan kawannya, baik karena masalah agama atau dunia, sementara dikhawatirkan ada yang mengancam keselamatan dirinya, maka dia wajib suudzan dari setiap gelagat buruk kawannya. Agar dia tidak diserang dengan konspirasi temannya, yang bisa menyakitinya. (Raudhatul Uqala, 1/127).
Ketiga, suudzan yang wajib. Inti dari suudzan yang wajib adalah mengingatkan masyarakat akan keburukan orang lain atau dalam rangka dakwah. Sehingga suudzan ini tujuan besarnya untuk kemaslahatan syar’i. Seperti yang dilakukan para ulama dengan memberikan jarh (celaan) untuk perawi hadis yang dinilai pendusta. Atau muttaham bil kadzim (diduga memalsu hadis). (al-Mausuah al-Akhlak al-Islamiyah – Durar as-Saniyah). Allahu a’lam. [ ]
Sumber konsultasisyariah