Oleh: Andi Ryansyah
INILAHCOM, Jakarta -- Di sebuah kampung di Kota Magetan yang dihuni oleh umat Islam, Kampung Kauman namanya, terdapat seorang pedagang keliling yang juga guru ngaji bernama K.H. Rokib.
Dia mengaku pernah didatangi oleh 12 orang anggota PKI, pada 19 September 1948, sekitar pukul 03.00 dini hari. Dalam keadaan langit masih gelap, Rokib digiring ke Desa Wringin Agung.
“Setiba di Wringin Agung, saya dimasukkan ke dalam rumah yang gelap sekali. Dari bisik-bisik mereka, saya tahu bahwa Asrori, guru madrasah di Kauman itu sudah dibunuh di Dadapan,” kenang Rokib. Setelah seharian dikurung, Rokib kemudian digiring oleh orang-orang yang berpakaian tentara ke arah selatan.
Setiba di Dusun Dadapan, Desa Bangsri, Rokib sekonyong-konyong diseret ke lubang pembantaian di tepi tegalan yang ditanami ketela pohon. Di lubang pembantaian tersebut, kedua tangan Rokib ditarik berlawanan arah oleh orang-orang PKI dan kakinya ditekan supaya terduduk. Dalam keadaan seperti itu, Rokib sadar bahwa dia akan disembelih oleh FDR/PKI seperti mayat-mayat yang bergelimpangan dalam lubang di depannya.
“Waktu itulah saya mendadak ingat pelajaran pencak yang pernah saya peroleh dari pesantren,” tutur Rokib yang mengaku pernah menjadi santri di Pesantren Mamba’ul Ulum, Walikukun itu. Maka dengan gerak reflek, Rokib menghentakkan tangan kirinya sambil menendangkan kaki ke samping hingga berhasil melepaskan tangannya dari pegangan orang PKI. Kemudian dengan sekuat tenaga, Rokib lari menghindari kepungan orang-orang PKI.
“Hooii… tawanane ucul! (Hooii… tawanannya lepas!),” teriak orang-orang PKI seperti yang ditirukan Rokib, saat mereka mengejarnya di antara tanaman ketela pohon dan semak yang lain. Tetapi pelarian Rokib itu hanya beberapa jam saja. Sebab menjelang siang hari, dia tertangkap lagi oleh PKI di tengah tegalan. Setelah tertangkap, Rokib mengungkapkan dirinya digebuki habis-habisan oleh PKI.[6] Hampir sepekan Rokib diikat dengan erat dan disatukan dengan sekitar 300-an orang tawanan yang lain. Kemudian dia digiring ke timur menuju Gorang Gareng.[7]
Kampung Kauman Dibakar
Pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan. Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di Kampung Kauman.
“Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang anggota PKI.
Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan yang akan menghalangi pemberontakan mereka.
Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar dari persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali bambu,” tutur Parto Mandojo.
Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori milik pabrik gula ke kawasan Glodok. “Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.
Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.
Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno, menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri, ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan. Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai Zubair dan Kiai Bawani.
“Jadi setelah pemberontakan itu meletus, pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul Daenuri.[8] Setelah Magetan, aksi keganasan PKI berlanjut di Trenggalek, Surabaya, dan Kediri.[bersambung]
Sumber jejakislam