NEGARA terbesar jumlah masjidnya ialah Indonesia. Saat ini jumlah masjid di Indonesia sudah lebih dari 800.000, dua kali lipat jumlah penduduk Negara Brunei.
Bandingkan masjid Nabi pada masa awal perjuangannya di Madina hanya memiliki satu masjid tetapi mampu menggebrak dunia kawasan Timur-Tengah. Bayangkan jika masjid di Indonesia bisa diberdayakan seperti masjidnya Nabi. Masjid-masjid tersebut menduduki lahan yang sangat strategis, di tengah-tengah kerumunan rumah-rumah penduduk.
Potensi masjid itu bukan hanya dalam bentuk tanah, bangunan, dan kekayaan yang ada di dalamnya, tetapi juga jamaahnya yang sangat komplek. Ada pemilik modal, ada pengangguran, ada mahasiswa dan sarjana, ada anak-anak dan ada orang tua. Kalau semuanya disinerjikan maka mesjid berpotensi luar biasa untuk menyelesaikan problem sosial dan ekonomi umat dan warga bangsa.
Masjid Nabi tidak terlalu besar dan tidak terlalu indah namun fungsi dan aktifitasnya antara lain sebagai tempat pelaksanaan ibadah shalat jamaah seperti shalat lima waktu dan shalat Jum'at; tempat konsultasi untuk masalah keagamaan dan keduniaan; tempat penyampaian informasi publik, baik kapasitasnya sebagai Nabi/Rasul atau sebagai kepala pemerintahan; juga tempat melaksanakan berbagai kegiatan pendidikan, mulai dari anak-anak usia dini sampai orang dewasa;
Tak hanya itu, mesjid di jaman Nabi juga menjadi tempat melaksanakan santunan sosial, seperti diketahui tempat penyimpanan baitul mal (perbendaharaan negara) ialah di masjid; tempat latihan militer dan latihan bela diri; tempat penampungan pengungsi, khususnya mereka yang korban perang antar kabilah atau antar entnik; tempat perawatan dan pengobatan masyarakat, seperti korban yang terluka di medan perang dirawat dan diobati dimsajid; tempat untuk melaksanakan perdamaian dan memutuskan berbagai perkara; tempat untuk menahan tawanan perang, seperti tawanan perang Badr diikat di masjid, serta tempat untuk menerima tamu, termasuk tamu asing atau tamu lintas agama.
Fungsi mesjid di jaman Nabi juga bisa menjadi tempat untuk mengekspresikan seni-religius, sebagaimana Rasulullah pernah menyaksikan kelompok seniman dari Khabasyah untuk menampilkan kreasi nasyidnya di mesjid; tempat untuk melatih keterampilan seperti salon, pertukangan misalnya tukang kayu, tukang besi, tukang samak kulit, dll; dan tempat untuk mengatur roda pemerintahan umat Islam.
Yang menarik ialah menara masjid ternyata tidak hanya digunakan Bilal untuk menyampaikan azan tetapi dari ketinggian menara digunakan untuk mengontrol rumah-rumah mana yang tidak pernah berasap dapurnya dan rumah-rumah mana yang selalu berasap dapurnya. Dari situ sahabat pembantu Nabi turun menjembatani kedua kelompok masyarakat tersebut. Jadi menara masjid bukan hanya gagah-gagahan atau tempat menyimpan loadspeeker tetapi seharusnya juga berfungsi sebagai social and economic control.
Tatkala perang Badr usai dan kemenangan besar di pihak umat Islam, para tawanan perang yang banyak di antaranya pemimpin dan elit kafir Quraisy. Mereka ikut serta dalam peperangan ini karena yakin pasti menang dengan kekuatan militer yang dimilikinya tidak seimbang dengan pasukan Nabi. Namun di luar dugaan mereka kalah dan ditawan di halaman mesjid. Tawanan perang ini menimbulkan kontroversi di kalangan sahabat. Rasulullah meminta pendapat para sahabat mengenai mereka, kemudian ditanggapi oleh Umar ibn Khattab, yang menyarankan agar mereka dibunuh atau dijadikan budak sesuai dengan hukum adat perang ketika itu.
Sementara Abu Bakar mengusulkan agar mereka dipilah berdasarkan keahlian masing-masing untuk memberdayakan umat Islam di Madinah, seperti melatih umat Islam dengan berbagai keterampilan produktif. Rasulullah menyetujui pendapat Abu Bakar lalu beliau meminta supaya diidentifikasi masing-masing tawanan perang yang sedang ditawan di pekarangan mesjid Nabi berdasarkan keahlian dan keterampilan masing-masing. [*]