WISATA syari'ah, wisata Islami atau wisata halal adalah terma yang sangat populer akhir-akhir ini. Hari ini saya bertugas sebagai narasumber dalam sebuah forum yang digelar oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pariwisata dan Dewan Riset Daerah tentang Strategi Pengembangan Wisata Islami.
Akhir-akhir ini, di Indonesia, pilihan istilah wisata Islami lebih disukai ketimbang wisata syari'ah karena ada banyak telinga di Indonesia yang gatal dan memerah setiap kali mendengar kata syari'ah. Padahal terma syari'ah lebih awal lazim digunakan terutama ketika disematkan pada dunia perbankan dan peraturan daerah.
Sejarah Islam mencatat bahwa pengembangan wisata Islam bisa dilacak sampai pada masa dinasti Abbasiyah abad 8 sampai 10 M, saat kata SUUQ yang bermakna pasar menjadi aktivitas wisata. Kata pasar inipun bisa jadi terjemahan dari kata bazaar yang masih juga dijadikan padanan kata suuq. Di Turki, misalnya, kita mengenal pasar besar bernama Grang Bazaar, Arasta Bazaar dan semacamnya. Untuk di Indonesia, wisata Islami bisa juga dilacak, salah satunya, dengan meneliti kata pondok atau pemondokan yang sesuara dengan kata bahasa Arab FUNDUQ yang bermakna hotel.
Terma wisata Islam mulai dikenal luas semenjak tahun 2001 ketika digelar seminar internasional oleh UNESCO di Damaskus. Untuk di Indonesia, wisata Islam ini mulai diperbincangkan pada 2003-2004. Potensi ekonomi, budaya dan dakwah nilai keislaman melalui wisata ini sangatlah besar. Malaysia sudah berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu top ten tujuan wisata Islam bersama dengan Turki, UEA, Mesir, dan lainnya. Indonesia masih belum sampai ke level itu.
Ada beberapa hambatan atau tantangan dalam pengembangan wisata Islami di Indonesia. Dalam catatan saya, minimal ada empat. Yang paling pokok adalah minimnya pengetahuan yang holistik tentang wisata syari'ah atau wisata Islam ini. Bawah sadar masyarakat umum masih menampilkan kata wisata identik dengan kemaksiatan.
Adalah pekerjaan besar yang perlu digarap bersama oleh semua pihak untuk meluruskan mispersepsi ini. Lombok bisa disebut telah sukses membangun image bari wisata islam atau wisata halal. Bagaimana dengan jawa Timur? Saya ajukan beberapa strateginya setelah memaparkan potensi dan tantangannya. Salam, AIM, Dosen Pascasarjana UINSA Surabaya