ULAMA dan umara adalah dua istilah yang sangat sering kita pakai tetapi belum terdifinisikan dengan baik dan karena itu masih belum tepat makna. Pada umumnya umara dipahami sebagai para penguasa, para pejabat yang menjadi pemerintah. Mengikuti arti ini maka umara dapat dijelaskan secara hirarkis, mulai dari geuchik, pada tingkatan paling rendah, naik ke mukim, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri sampai kepada Presiden sebagai tingkatan paling tinggi.
Sedang istilah ulama pada umumnya dipahami sebagai (a) orang yang pandai (ahli) khususnya dalam ilmu atau bidang keagamaan. Namun secara lebih cermat, ulama didifinisikan bukan sekedar orang pandai, tetapi juga harus (b) menghayati nilai-nilai agama serta mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu secara lebih ketat lagi, ulama dipahami harus (c) peduli kepada masyarakat lingkungannya sehingga mereka menjadi panutan masyarakat, dan (d) menjadi pemimpin yang arif dan rela berkorban untuk kepentingan masyarakat serta (e) istiqamah dalam memegang dan memperjuangkan nilai dan ajaran agama tersebut.
Dengan demikian, kalau pada pemerintah (penguasa) sudah ditentukan tingkatannya dan sudah disusun secara ketat dan hirarkis, maka tingkatan ulama cenderung sangat longgar karena tidak ada ukuran ketat dan pasti yang dapat digunakan untuk menyusun hirarki mereka. Di dalam perkembangannya, secara sederhana ulama dibedakan kepada dua kelompok besar saja. Pertama, mereka yang pandai dan ahli tentang ajaran agama, mengamalkannya dengan baik dan peduli kepada masyarakat, sehingga menjadi tempat bertanya dan belajar, menjadi tempat mengadu, dan bahkan menjadi tempat berlindung ketika ada kesulitan. Kedua, mereka yang pandai dan ahli tentang ajaran agama (paling kurang satu aspek ajaran agama saja) serta mengamalkannya dengan baik, tetapi cenderung tidak peduli terhadap keadaan lingkungannya, bahkan mengasingkan diri dari masyarakat sekitar. Ukuran untuk menentukan tingkat keulamaan seseorang, adalah ilmu dan pengetahuan yang dia miliki, serta integritas diri dan sikap istiqamah dalam mengawal dan menyatakan kebenaran ajaran agama. Namun karena ukuran ini sangast relatif, maka sering ketokohan dan kebesaran seorang ulama diukur dengan pengaruh dan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat atau keseganan dan penghormatan orang-orang kepada beliau. Jadi ukuran penguasaan ilmu, integritas diri, dedikasi pada perjuangan agama, serta perhatian dan kepedulian kepada masyarakat sering terabaikan, tidak digunakan untuk menentukan ketokohan seseorang.
Mengenai hubungan ulama dan umara, penulis ingin mengajak semua kita kembali ke ajaran dan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. serta keadaan pada masa Sahabat setelah beliau wafat. Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah pemimpin untuk urusan ukhrawi dan duniawi. Untuk ini tidak ada khilaf di kalangan ulama. Sesudah beliau wafat kedudukan dan kewenangan ini diwariskan kepada para khulafa’ur rasyidin, yaitu empat Sahabat utama yang terpilih sebagai pemimpin negara dan umat Islam. Mereka menjadi umara dan sekaligus ulama. Namun kurang 40 tahun dari kewafatan Rasulullah, terjadi perebutan kekuasaan oleh Mu`awwiyah, sehingga terjadi pemisahan antara ulama dan umara. Tugas kepemimpinan duniawi dipegang oleh Mu`awiyah dan para khalifah atau sultan (kepala Negara atau kepala pemerintahan) secara silih berganti sampai ke masa kita sekarang. Para khalifah dan sultan dianggap menjadi ahli waris Rasulullah di bidang duaniawi (yang sering dipahami sebagai uli-l amri). Sedang tugas kepemimpinan ukhrawi dipegang oleh para ulama. Para ulama dianggap ahli waris Rasulullah di bidang ilmu keagamaan, orang yang menyediakan diri untuk mendalami ajaran-ajaran Rasulullah dan mengamalkannya sehingga menjadi teladan dan panutan masyarakat dalam pengamalan ajaran agama.
Di dalam Alquran ada perintah kepada umat Islam untuk patuh kepada uli-l amri, sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah Ta'ala dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ayat ini sering dipahami sebagai dalil bahwa umat Islam harus taat kepada pemimpin selama mereka mengajak umat taat kepada Allah atau paling kurang selama mereka tidak mengajak kepada maksiat. Sedang dalam ayat yang lain ada pernyataan bahwa yang betul-betul takut kepada Allah di kalangan manusia (hamba Allah) adalah para ulama. Lepas dari perbedaan pendapat tentang makna ulama disini, ayat ini cenderung dipahami bahwa para ulama adalah kelompok orang yang selalu membawa suluh, yang memberi terang kepada orang-orang disekitar mereka. Ulama adalah kelompok orang yang tidak silau dengan kenikmatan dunia, sebaliknya selalu mengutamakan taat kepada Allah di atas segala-galanya.
Di dalam perjalanan sejarah umat Islam mengenai hubungan ulama dengan umara, ada tiga kelompok ulama. Kelompok pertama mereka yang bersedia bekerja sama dengan umara, dan karena itu akan menjadi bawahan mereka, seperti menduduki jabatan qadhi, mufti, wazir, atau juru bicara sultan dan seterusnya. Di antara mereka ini ada yang terpuruk menjadi kaki tangan penguasa yang berusaha membenarkan semua tindakan penguasa, dan sebaliknya ada yang dapat menjaga diri, tidak mau mengerjakan yang dia anggap salah walaupun disuruh oleh atasannya. Dengan kata lain mereka mampu bertahan untuk tetap istiqamah,. Kelompok kedua mereka yang berupaya menjaga jarak, tidak mau terlibat langsung di dalam pemerintahan, tetapi selalu memberikan nasihat dan bimbingan kepada para penguasa. Kelompok ketiga adalah para ulama yang sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak peduli dengan perilaku penguasa dan keadaan masyarakat. Mereka cenderung meninggalkan hiruk pikuk dunia, dan menyibukkan diri dengan beribadat serta kegiatan pensucian dan pemuasan batin yang cenderung tidak berkaitan langsung dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Persoalan lain yang harus diingat, di dalam Islam tidak ada orang atau kelompok yang ma`shum selain dari Rasulullah. Karena itu tidak ada orang yang berhak memonopoli kebenaran, dan karena itu tidak ada kelompok yang selalu berada di atas kelompok lainnya dalam mencari dan menyatakan kebenaran. Dengan demikian upaya mencari kebenaran dan pengawasannya harus dilakukan secara timbal balik dan terus menerus oleh semua pihak, tidak boleh berhenti dan tidak akan pernah final.
Berdasarkan perjalanan sejarah umat Islam, maka peran ulama dalam kaitannya dengan umara adalah memberikan nasihat, agar pemerintah tidak lalai, selalu ingat bahwa kekuasaan yang dia dapat adalah amanah yang harus ditunaikan, yaitu upaya mensejahterakan rakyat dan tidak mengkhianati rakyat di bawah naungan ajaran Islam.
Untuk kebutuhan masa sekarang, karena keadaan dan permasalahan yang dihadapi relatif sangat komplek, sedang pengetahuan dan kemampuan para ulama dan juga para umara relatif sangat terbatas, maka keharusan melakukan dialog, diskusi dan tukar pendapat antara kedua kelompok ini harus dilakukan secara tulus dan berkesinambungan. Para ulama dan umara harus mengetahui kesulitan dan persoalan yang dihadapi di lapangan dan juga harus mengetahui alternatif jalan keluar serta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. Jadi pencarian kebenaran dan cara menegakkan kebenaran, begitu pula memilih cara untuk menyejahterakan masyarakat harus dilakukan secara bersama. Masing-masing pihak harus memahami posisi dan keterbaasan mereka masing-masing sehingga akan dapat saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
Demikian penulis sampaikan semoga ada manfaatnya, kepada Allah penulis mohon hidayah dan petunjuk, kepada Nya dipersembahkan amal dan bakti serta kepada Nya pula dimohon perlindungan dan kemampuan untuk menegakkan kebenaran. Amin. [Al Yasa Abubakar]