MANUSIA adalah hamba Tuhan. Idealnya apapun yang dilakukan anak manusia adalah ibadah. Pada sisi lain manusia adalah makhluk paripurna. Keparipurnaan manusia bukan ekslusif yang secara total berbeda dengan makhluk Tuhan lainnya.
Keparipurnaan manusia justru terletak pada kenyataan akumulasi unsur-unsur alam yang berduplikasi membentuk dirinya, seperti unsur mineral, unsur tumbuh-tumbuhan, dan unsur hewan. Sampai di sini manusia disebut sebagai mikrokosmos.
Manusia juga disebut hewan yang sempurna karena bisa berfikir (al-hayawan al-nathiq). Namun yang membuat manusia ekslusif dibanding makhluk Tuhan lainnya dan karenanya ditunjuk sebagai khalifah (khalaif al-ardl) ialah roh. Roh yang di-install ke dalam diri manusia memungkinkan dirinya bisa mengalami apa yang disebut SH Nasr sebagai makhluk eksistensialisme.
Manusia bisa menjalin komunikasi secara vertikal dan secara horizontal dengan para makhluk Tuhan, termasuk makhluk gaib. Manusia dengan sendirinya juga bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Unsur ekstra manusia atau "khalqan akhar" menurut istilah Al-Qur'an (Q.S. al-Mu'minun/23:14), menempatkan manusia sebagai makhluk yang bisa berkomunikasi dengan makhluk alam syahadah dan makhluk alam gaib. Unsur ekstra ini juga yang menempatkan manusia sebagai makhluk spiritual.
Jika manusia mampu melibatkan unsur spiritualnya dalam melakukan perbuatannya maka perbuatan tersebut bisa disebut divine working. Agar manusia bisa melibatkan unsur spiritual, manusia harus selalu mengawali perbuatannya dengan niat (innamal a'mal bi aliniyat). Hanya saja niat di sini bukan sekadar ucapan seperti mengucapkan kata: "Saya berniat untuk …", tetapi niat di sni lebih merupakan perbuatan hati ketimbang ucapan mulut.
Jika manusia melakukan perbuatannya tanpa melibatkan spiritualitas maka sesungguhnya perbuatannya lebih merupakan perbuatan "binatang" ketimbang perbuatan "manusia". Unsur spiritual inilah yang membedakan antara human working dan Divine working. Perbuatan yang melibatkan unsur spiritual itulah yang akan melahirkan berkah.
Untuk memperoleh berkah dalam hidup maka tidak ada cara lain selain melakukan deanimalisasi perbuatan. Bagaimana supaya yang bekerja di dalam diri kita bukan saja kapasitas kita sebagai hewan (al-hayawan al-nathiq), tetapi unsur insaniyyah yang melibatkan unsur spiritualitas di dalam diri manusia itu sendiri.
Setiap orang yang bekerja dengan melibatkan unsur spiritualnya maka apapun job atau pekerjaannya selalu dirasakan sakral dan mulia, karena seolah-olah yang mengerjakan perbuatan itu lebih dominan ditentukan oleh unsur ketuhanan (Divine).
Orang akan selalu percaya diri, menghargai, dan mencintai apapun jubnya, jika unsur Divine bekerja di dalam dirinya. Boleh jadi ada orang memilih pekerjaan kasar atau sederhana dan bersahaja bagi orang lain, akan tetapi bagi yang bersangkutan tetap dianggapnya sebagai Divine Job, karena ia bekerja berdasarkan hati nurani.
Divine Job bukan berarti bekerja di dalam urusan ketuhanan, semisal bekerja sebagai muballig, imam mesjid, atau sebagai mursyid, tetapi apapun yang dikerjakan dengan melibatkan Tuhan dalam bentuk niat yang intensif untuk memohon ridho Allah Swt, maka itulah yang disebut Divine Job. Sungguhpun bekerja di sektor ketuhanan tetapi jika dilakukan hanya karena ingin mendapatkan gaji atau kepentingan duniawi semata, maka itu pun tidak bisa disebut Divine Job, akan tetapi tetap disebut sebagai Human Job.
Agar hidup ini menjadi bermakna dan berkah, maka apapun pekerjaan kita sebaiknya diniatkan untuk memohon ridha Tuhan. Sesederhana apapun pekerjaan itu niscaya akan menjadi berkah karena yang kita kejar bukan hanya upah atau gaji tetapi ridho Tuhan.
Tentu akan lebih bagus lagi jika seseorang memilikijob lebih baik di atas rata-rata job yang ada di sekitarnya tetapi mampu menginternalisasikan unsur Divine di dalam job tersebut. Ajaran agama mendoktrinkan bukan mencari yang banyak atau yang besar saja tetapi yang lebih penting di atas segalanya ialah keberkahan. [*]