SUATU hari ada seorang lelaki berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri: "Berikan aku nasehat wahai Syekh." Beliau menjawab: "Bekerjalah untuk bekal kehidupan duniamu seukur lama hidupmu di dunia itu. Bekerjalah untuk bekal kehidupan akhiratmu seukur lama hidupmu di akhirat kelak."
Pertanyaannya pendek sekali, jawabannya pun singkat sekali. Lelaki itupun merasa lega dengan jawaban itu dan berupaya semaksimal mungkin untuk mengamalkannya.
Hidup di dunia tidaklah abadi. Semuanya bertemu dengan titik akhir hidup yang bernama mati. Raja yang paling kuasa tak memiliki kuasa menolak kematian, konglomerat paling kaya tak pernah mampu menaklukkan kewafatan. Anehnya, sulit sekali mencari orang yang berhenti mencari dunia walaupun hidupnya sesungguhnya sudah diberi nikmat berlimpah melebihi kebutuhannya sepanjang hidup.
Hidup di akhirat kelak adalah kehidupan abadi. Pilihan tempatnya ada dua, di surga atau di neraka. Butuh sangu atau bekal yang banyak untuk kehidupan yang kekal itu. Namun, begitu sulitnya manusia berbuat untuk akhiratnya, begitu sukarnya menata hati beramal untuk akhirat kelak. Lucunya, doa dan harapannya adalah mendiami surga yang paling tinggi.
Sepertinya kita perlu mempersering ingat kematian dengan mempersering hadir ke rumah sakit dan ke kuburan. Perlu juga sesekali mengunjungi istana-istana yang telah ditinggal penghuninya untuk menyadarkan kita bahwa kekuasaan ada batasnya sehingga tempat mewahpun harus direlakan ditinggalkan baik karena alasan kematian ataupun alasan dilengserkan. Tak ada yang abadi di dunia ini.
Marilah kita belajar menjadi lebih cerdas, belajar lebih memilih kebahagiaan di alam yang abadi ketimbang kebahagiaan di alam yang sementara. Tentu, sebisa mungkin kita semua berharap bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Bukalah hati untuk beramal akhirat. Salam, AIM@Istambul Turkey. [*]