DULU, saya pernah bertemu dengan orang tua berusia 90 tahunan yang seringkali dikunjungi para pejabat yang sedang galau dengan masalah. Pakaiannya khas tani, kaos yang sudah transparan karena setengah lapuk sebagai atasan dan sarung sederhana warna putih yang sudah agak menguning karena usia.
Namanya Kiai Jakfar. Beliau tak pernah sekolah formal karena di jamannya sekolah formal belumlah lumrah untuk masyarakat biasa. Beliau hanya berguru ke kiai kampung yang referensinya hanyalah kitab-kitab kecil.
Yang menarik perhatian saya adalah kalimat yang selalu dijadikannya jawaban atas semua keluhan. Beliau selalu berkata: "Hidup ini memang tempatnya perselisihan. Hidup ini akan selalu dipenuhi beda pendapat. Apalagi jika rujukannya adalah kepentingan diri. Yang selamat hanyalah satu, yakni yang berkata dan berbuat dengan merujuk pada hati nurani." Dapat dipastikan bahwa semua yang hadir terdiam, mendengarkan hati nuraninya masing-masing.
Ketika tamu-tamu sudah pulang, saya masih bertahan. Sayapun bertanya tentang kalimat tadi, apa ma'khadz (bahasa kerennya para santri untuk menyebut rujukan) atau main reference (bahasa kerennya para sarjana untuk menyebut rujukan juga) yang dimilikinya. Jawaban beliau: "Hati. Belajarlah dengan hati kepada orang yang punya hati tentang hati nurani itu hakikatnya apa. Tanpanya, kejujuran hati tak akan tegak. Tanpanya, kepentingan nafsu yang akan tampak."
Iya. Dalil sangatlah banyak, pendekatan juga sangatlah jamak. Semua orang bisa menggunakan dalil dan pendekatan yang sesuai dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Namun kalau tujuannya adalah demi tegaknya kebenaran, kebaikan dan keindahan secara totalitas, merujuklah kepada suara hati nurani dengan mempertimbangkan keseluruhan aspek. Tidak mudah, memang. Tapi kita harus berusaha. Salam, AIM, Pengasuh pondok Pesantren Kota alif Laam Miim Surabaya. [*]