UNTUK menyegarkan kembali ingatan kita pada artikel terdahulu, bahwa di dalam ontology keilmuan Islam, ilmu dibedakan pada dua bagian, yaitu ilmu hushuli dan ilmu hudhuri.
Ilmu hushuli ialah ilmu yang diperoleh melalui pemisahan secara diametrical antara subyek ilmu (‘alim) dan obyek ilmu (ma’lum). Subyek ilmu pengetahuan harus berusaha membuat jarak dengan obyek ilmu pengetahuan, agar ilmu yang diperolehnya lebih obyektif dan tidak bias.
Sedangkan ilmu hudhuri ialah ilmu yang diperoleh melalui penyatuan (taqabul) antara subyek ilmu dan obyek ilmu pengetahuan. Semakin utuh penyatuan keduanya semakin valid pula ilmu pengetahuan itu.
Metode pertama (Ilmu Hushuli) banyak diterapkan di dalam tradisi keilmuan barat, yang berusaha mengeksploitasi sedemikian dalam obyek ilmu pengetahuan itu. Karena itu, obyek ilmu pengetahuan harus terbebas dari berbagai aspek ketabuan dan kesakralan. Segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau sang subyek (dengan menggunakan kekuatan logika) maka di situ tidak ada ilmu pengetahuan.
Sedangkan metode kedua (Ilmu Hudhuri) harus menghadirkan obyek ilmu pengetahuan itu menjadi bagian dari dirinya sendiri (from within), sehingga perolehan ilmu pengetahuan itu lebih merupakan faktor dari dalam diri.
Yang pertama, sifat sang subyek ilmu ada dua macam, kalau bukan pintar (‘alim) maka pasti bodoh (jahil). Karena itu sang subyek yang pintar harus mengajari yang bodoh. Anak didik dianggap bodoh karena itu harus diajari oleh gurunya yang lebih pintar.
Struktur sang subyek yang ’alim sudah barang tentu lebih tinggi dari pada subyek yang bodoh. Sedangkan yang kedua, sang subyek ilmu juga ada dua macam, yaitu sadar, ingat (dzakir) dan lupa (gafil). Dengan demikian struktur sang subyek tidak selamanya ada yang lebih tinggi atau ada yang lebih rendah.
Dalam perspektif ilmu hudhuri, pada dasarnya semua orang pintar, hanya saja perjalanan hidupnya yang panjang membuatnya lupa (gafil). Setiap manusia yang lahir sudah otomatis cerdas karena sudah diinstal kepintaran dan kecerdasan oleh Allah Swt.
Di sinilah tugasnya seorang guru (mursyid) untuk membimbing dan mengingatkan kembali kepada muridnya apa yang pernah ia peroleh sejak zaman azali. Karena itu, epistimologi keilmuan hushuli lebih mengandalkan metode pengajaran (tadris), yaitu proses pembelajaran terhadap orang yang masih memerlukannya, yakni mereka yang masih memiliki pengetahuan terbatas.
Sedangkan epistimologi kelilmuan hudhuri selain persoalan metodologi pendidikan (tadris) penting, yang tak kalah pentingnya juga ialah metode pendidikan (ta’lim). Seorang anak bukan hanya untuk dibuat pintar (‘alim) tetapi juga untuk dibuat cerdas dan arif (’aruf). Untuk yang terakhir ini dilakukan melalui proses latihan mental-spiritual yang biasa disebut dengan mujahadah, tadzkirah, tashawwuf, dan istilah-istilah lainnya.
Istilah yang sering digunakan oleh kelompok pengikut ilmu hushuli ialah guru-murid (mu’allim-tilmidz). Guru yang persepsikan sangat tahu (‘alim) berusaha memberikan ilmunya kepada murid-muridnya yang dipersepsikan sangat miskin ilmu atau masih bodoh (jahil). Sedangkan dalam perspektif ilmu hudhuri ialah mursyid, yakni pembimbing untuk mengingatkan kembali (al-dzakir) kepada para muridnya yang mungkin lupa atau nuraninya tertutup oleh berbagai macam hijab, sehingga sulit menemukan kebenaran dan petunjuk secara otomatis dari kecerdasan standard yang sudah diperolehnya dari zaman azali tadi.
Banyak contoh dapat dikemukakan orang-orang yang mampu mengakses pengetahuan dengan menggunakan metode ilmu hudhuri. Sebutlah di antaranya ialah sejumlah ulama terkemuka seperti Ibnu Hajar al-Asqallani, Imam Malik, Imam Syafi’, Imam Al-Gazali, Ibnu ‘Arabi, dan sejumlah nama lain yang bisa dilihat di dalam Iami’ Karamat al-Auliya’ (dua jilid), karangan Yusuf Nabhani. Bahkan surah Al-Kahfi yang menderet sejumlah kisah ajaib di dalamnya, termasuk kisah Nabi Musa dan Khidhir dapat dijadikan rujukan.
Sebagai contoh, Ibn Hajar al-‘Asqallani sangat popular sebagai ulama besar, terutama dalam bidang Hadis. Dialah yang meng-syarah atau memberikan annotasi terhadap Kitab Shahih al-Bukhari yang disusun Imam Bukhari yang terkenal itu.
Ia meninggalkan desanya menuju kota Mesir menuntut ilmu. Sekian lama di sana tidak merasa pintar dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kampungnya. Dalam perjalanan ia memotong gunung dan melintasi padang pasir. Karena kelelahan ia mampir istirahat di dalam gua.
Di dalam gua itu ia termenung merenungi nasibnya sebagai orang yang gagal. Dalam keadaan bersedih ia menyaksikan tetesan air terus menerus dari stalastik menimpa batu di bawahnya. Entah berapa lama tetesan itu terjadi sehingga membuat lubang di dalam batu yang ada di bawahnya.
Dari situ ia belajar bahwa air yang sedemikian lembut pun berhasil melubangi batu cadas. Bagaimana dengan dirinya? Akhirnya ia mengurungkan niatnya pulang ke desanya dan memutuskan untuk kembali ke Mesir. Dengan semangat membatu ia berhasil lulus dan dengan berbagai prestassi istimewa diraihnya. Namanya pun diabadikan sebagai Ibnu Hajar (putra batu), yang diambil dari pengalamannya menyaksikan batu cadar di dalam gua.
Spirit, tekad yang kuat serta kegigihan Ibnu Hajar menjalankan penghambaan diri secara maksimum kepada Tuhannya pada akhirnya menorehkan hasil. Ini menjadi bukti bahwa jika kesungguhan upaya mencapai puncak maka Tuhan tidak pernah tampil mengecewakan hambanya.
Cerita lain yang menggambarkan ketajaman mata batin ialah pengalaman hidup Imam Al-Gazali (1058-1111 M). Suatu saat ditanya muridnya, kenapa ustadz sering mengutip hadits-hadits Ahad (tidak populer) di dalam kitab Ihya’ ‘Ulumud Din, lalu ia menjawab, saya tidak pernah menulis satu hadis di dalam buku ini sebelum saya konfirmasikan kepada Rasulullah.
Padahal, Rasulullah wafat tahun 632 M dan Al-Gazali wafat tahun 1111 M, selisih 479 tahun. Kitab Ihya’ ‘Ulumud Din merupakan masterpiece Al-Gazali yang ditulis di puncak menara mesjid Damaskus.
Kejadian lain, Ibn ‘Arabi (1165-1240 M), seorang sufi besar, ditanya seorang muridnya perihal bukunya, Fushush al-Hikam, yang dirasakan seperti ada misteri. Kata muridnya, setiap kali saya baca buku ini setiap itu pula saya mendapatkan sesuatu yang baru. Lalu dijawab, buku itu memang pemberian Rasulullah langsung kepada saya, bahkan judul bukunyapun dari Rasulullah (khudz hadza kitab Fushuhsh al-Hikam). Padahal, selisi masa hidup Rasulullah dan Ibn ‘Arabi terpaut 608 tahun.
Dalam kitab, Jami’ Karamat al-Auliya’, karangan Yusuf Isma’il al-Nabhani (dua jilid), disebutkan sejumlah wali bisa berkomunikasi lancar dengan Rasulullah atau dengan ulama-ulama besar di zaman jauh sebelumnya, melalui kekuatan ”mimpi”. Bahkan dikatakan, alangkah miskinnya seorang murid (pencari ma’rifah) kalau gurunya hanya orang-orang hidup. Cerita-cerita semacam ini bisa kita lihat dalam Jami’Karamat al-Auliya’.
Ketajaman mata batin sebagai kekuatan untuk melihat dan memahami sesuatu yang oleh mata fisik tidak mampu melihat atau menyaksikannya tetapi melalui metode spiritual heart atau ilmu hushuli bisa diketahui. Jika Tuhan menghendaki maka banyak cara Tuhan untuk memperlihatkan sesuatu yang sulit atau tidak dapat disaksikan dengan mata kepala.
Di antara cara itu ialah: Pertama, mimpi (hilm) yang dapat diakses oleh siapapun dan hampir semua orang pernah mengalami mimpi. Kedua, kesadaran tingkat tinggi seorang hamba sehingga dapat menyaksikan yang gaib (waqi’ah). Ketiga, penyingkapan sesuatu yang gaib (kasyf) kepada kekasih Tuhan. Keempat, pengingkapan imajinasi melalui latihan olah batin. Kekuatan roh dan jiwa (nafs) dalam hal ini sangat menentukan. Inipun bisa diakses oleh siapapun juga yang rajin dan telaten menempuh pendekatan ilmu hudhuri. [*]