SEORANG kakek yang lama beruzlah (menyepi) sendiri di puncak gunung itu akhirnya dikunjungi orang sekampung yang merindukan kabar tentangnya dan merindukan senyumannya. Banyak yang tahu bahwa kepergiannya ke puncak gunung itu karena ketidaksukaannya akan gossip kehidupan yang beredar di kampungnya tanpa mengenal waktu. Lebih dari itu beliau juga tidak suka akan pengkultusan masyarakat akan beberapa orang termasuk dirinya.
Beliau menyambut para tamunya itu dengan ramah dan penuh senyum. Namun, beliau tidak memberikan waktu lama kepada mereka karena beliau sedang menyelesaikan pekerjaan wajibnya, "mengukir gua batin dengan dzikir dan tadabbur."
Beliau hanya berpesan singkat "Jangan biasa-biasa mengkultuskan seseorang. Sebaik-baiknya seseorang itu masih bukan malaikat. Jangan biasa-biasa menghina dan membenci seseorang dengan semenghina-menghinanya dan sebenci-bencinya. Sejelek-jeleknya dan sejahat-jahatnya seseorang masih belum sejelek dan sejahat syetan."
Lalu para tamunya keluar pulang dengan bahagia membawa wejangan sang kakek. Di perjalanan pulang mereka merenungkan fenomena masyarakat pada umumnya yang memiliki kecenderungan menjadi "google," yakni tempat bertanya berbagai hal termasuk gossip-gossip murahan. Semakin jarang masyarakat yang mau bertanya kepada manusia "kitab suci," yakni manusia yang paham benar pesan ayat-ayat agama dan mengamalkan betul dalam kesehariannya.
Kesalahan mencari rujukan akan berimplikasi pada penyimpangan perilaku, yakni perilaku yang tak sesuai dengan norma yang mengajarkan sesuatu yang normal. Lebih lanjut, kesalahan pegangan dan tempat bertanya akan mengantarkarkan pada kekacauan tatanan kehidupan secara umum.
Saat itulah banyak orang yang akan mencinta sesuatu yang harusnya dibenci dan membenci sesuatu yang harusnya dicinta, mendukung seseorang yang harusnya tak didukung dan menolak seseorang yang harusnya didukung. Tanyakan pada kitab suci, kepada orang-orang yang paham kitab suci. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]