FATWA boikot itu hanya akan efektif kalau disertai dengan beberapa hal, antara lain:
1. Kejelasan merek dagang mana saja yang sudah dipastikan milik perusahaan yahudi. Atau yang saham serta keuntungannya benarnya milik dan diperuntukkan bagi kepentingan yahudi.
Bila tidak, yang terjadi justru penzaliman dan fitnah. Padahal bila suatu perusahaan sudah terkena vonis tuduhan milik Yahudi, bisa jadi perusahaan itu akan terkena dampaknya. Atau malah sebaliknya, orang-orang malah jadi tidak terlalu peduli dengan seruan itu, karena ketidak-jelasannya.
Bukankah Islam mengajarkan kita untuk berbuat adil? Bukankah keadilan adalah salah satu ciri Islam?
2. Harus ada alternatif produk milik umat Islam yang secara kualitas menyamai kualitas produk yahudi, juga harganya bersaing dengan harga produk yahudi, serta ketersediaannya di pasaran pun mudah didapat.
Sebab bila tidak ada alternatif penggantinya, atau ada tapi kualitasnya rendah, atau harganya tidak terjangkau, atau tidak tersedia di pasaran yang mudah dijangkau konsumen, seruan ini menjadi mentah dengan sendirinya.
Apakah di negeri kita ini sudah ada produk alternatif pengganti yang seperti itu atau belum, tentunya harus dijadikan bahan pertimbangan masak oleh para ulama, terutama ulama di negeri kita. Sebab bisa jadi keadaan pasar di negeri arab berbeda dengan keadaan pasar di negeri kita. Untuk itu perlu ada penelitian yang relevan.
3. Harus ada penjelasan tentang fakta-fakta seberapa besar peranan sumbangan perusahaan milik yahudi itu telah berhasil membantai ribuan nyawa umat manusia.
Sebab penjelasan inilah yang akan menggerakkan hati umat Islam. Misalnya, ketika terjadi pembantaian umat Islam di Bosnia oleh Serbia awal tahun 90-an, umat Islam se-Indonesia untuk pertama kalinya kompak membela dan langsung mengumpulkan dana solidaritas.
Tapi bila fatwa itu hanya disampaikan dari mulut ke mulut, atau lewat milis, atau lewat forum-forum terbatas, maka pengaruhnya pun akan sangat terbatas sekali. Bukan berarti kita menafikan upaua sungguh-sungguh mereka yang sudah berinisiatif, namun nampaknya suatu amal akan lebih sempurna bila dilakukan secara berjamaah, tidak sendiri-sendiri.
Rasanya tanpa tiga hal di atas, seruan dan fatwa itu akan mengalami penggembosan dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Upaya mulia para ulama serta alternatif yang mereka tawarkan akan berjalan di tempat.
Yang namanya pemboikotan seharusnya memerlukan syarat mutlak, yaitu kekompakan. Apalah artinya pemboikotan kalau yang melakukan hanya satu dua orang saja, sementara selebihnya acuh tak acuh saja. Hal-hal teknis seperti ini barangkali perlu lebih diperhatikan, agar pekerjaan kita berjalan secara itqan (sempurna).
Wallahu a'lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]