TERDAPAT beberapa kekeliruan yang harus dihindari ketika belajar ilmu fikih tanpa guru, diantaranya:
2. Sama Sekali Tidak Paham
Kekeliruan kedua ini lebih parah dari kekeliruan pertama sebelumnya, yaitu orang yang baca buku seringkali malah sama sekali tidak paham isi buku itu. Walaupun sudah dibolak-balik dari awal ke akhir dan dari akhir ke awal, tetap saja gagal paham.
Keadaan ini tentu saja mengerikan. Bagaimana tidak, ketika kita merasa sudah membaca suatu buku, ternyata kita sama sekali tidak paham apa isinya. Ujung-ujungnya buku itu hanya menjadi bantal untuk tidur saja.
3. Keliru Terjemahan
Buku-buku fikih yang dijual di negeri kita kebanyakan adalah buku terjemahan dari bahasa Arab. Yang menjadi masalah adalah kualitas terjemahannya yang rata-rata bukan hanya tidak akurat, tetapi malah jauh keluar dari maksud penulis aslinya.
Seringkali sebuah buku dalam bahasa Arab diterjemahkan oleh mereka yang sama sekali tidak punya kompetensi untuk melakukan terjemah. Baru duduk di bangku kursus bahasa Arab dua minggu lantas sudah merasa pandai dan latah mau menerjemahkan buku. Lalu sedikit-sedikit buka kamus Arab Indonesia karena miskin kosa kata, tidak mengerti uslub bahasa Arab, tidak punya dzauq (taste) dalam tarkib bahasa Arab.
Akhirnya sebuah paragraf yang panjang itu diterjemahkan secara kata per kata. Hasilnya menjadi aneh dan si penerjemahnya sendiri pun tidak paham atas apa yang dia tulis sendiri. Ini bukan sekedar musibah tetapi ini adalah bencana.
Padahal setiap disiplin ilmu yang tertulis dalam buku tidak mudah dipahami begitu saja oleh mereka yang bukan ahli di bidang ilmu tersebut. Sebutlah misalnya buku diktat kuliah ilmu kedokteran. Penulisnya pastilah dokter ahli di bidang kedokteran dan yang bisa membacanya dengan mudah hanyalah para mahasiswa kedokteran saja.
Sedangkan buat kita yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu kedokteran, meskipun diktat kuliah itu berbahasa Indonesia, tetap saja kita akan mengalami 'gagal paham', meski sudah dibolak-balik seratus kali.
Kitab fikih dalam bahasa Arab hanya bisa dipahami oleh mereka yang sedang menekuni ilmu fikih, setidaknya para mahasiswa yang duduk di bangku fakultas syariah. Itu pun mereka tetap harus datang kuliah biar bisa menerima penjelasan dosen. Dan tidak mungkin bisa lulus ujian dengan hanya mengandalkan diktat kuliah saja dengan belajar sendiri di rumah.
Kalau si penerjemah sama sekali tidak pernah belajar ilmu fikih, tidak paham berbagai istilah, tidak tahu hukum-hukum fikih, tidak punya dasar ilmu fikih, sudah bisa dipastikan dia akan kesulitan memahami isi teks buku bahasa Arab itu. Kalau teks bahasa Arabnya saja tidak paham, bagaimana dia mau menerjemahkannya?
[baca lanjutan]