DI Timur Tengah dan di Arab sana semua terbukti. Kita jarang menemukan para wanita bekerja di dapur sebagaimana lazimnya pembantu. Bahkan yang pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga pun bukan ibu-ibu seperti di negeri kita.
Bulan Ramadan tahun 2008, Penulis diundang berceramah di Doha Qatar. Memang sangat kontras pemandangannya. Selama beberapa hari di Doha, Penulis memang sempat bertandang ke beberapa pusat perbelanjaan. Memang rata-rata yang belanja kebutuhan sehari-hari kebanyakan bukan ibu-ibu macam di Indonesia. Justru yang belanja di mall untuk kebutuhan sehar-hari kebanyakan bapak-bapak yang jenggotan dan brewokan.
Penulis juga sempat heran dan bertanya dalam hati, ini emak-emak pada kemana ya? Pasar kok isinya lanang kabeh (baca: lelaki semua). Oleh karena itulah maka Penulis kemudian membuka beberapa literatur yang original dari beberapa kitab turats yang ditulis oleh para ulama, khusus pada masalah yang ditanyakan tersebut.
Dan memang Penulis pun baru sadar, bahwa ternyata apa yang kita pikirkan selama ini tentang tugas para istri, lebih merupakan pemahaman lokal budaya bangsa kita saja.
Sementara kalau kita merujuk ke aturan yang asli dan original dari syariat Islam, setidaknya lewat apa yang ditulis oleh para ulama salaf, tugas para istri tidak seberat para pembantu rumah tangga.
Dalam format berpikir bangsa kita, posisi seorang istri memang lebih merupakan abdi atau pembantu buat suami. Secara tidak sadar, kita menganggap semua itu berasal dari ajaran agama Islam. Seolah-olah kita mengatakan bahwa Islam telah mewajibkan para istri untuk melakukan banyak pekerjaan rumah tangga, layaknya seorang pembantu.
Lalu apakah para wanita negeri kita harus menuntut dan mengubah apa yang sudah menjadi kebiasaan sejak zaman nenek moyang? Jawabannya tentu saja tidak. Kalau para wanitanya sendiri sudah merasa nyaman dengan pola kehidupan seperti itu, ikhlas, rida dan bahagia, tentu saja semua itu menjadi hak mereka.
Kalau seorang istri merasa enjoy dengan semua tugas rumah tangga itu, maka bukan cuma boleh hukumnya, tetapi juga mendapatkan pahala di sisi Allah Ta'ala. Sebab semua itu termasuk bagian dari amal saleh yang dikerjakan dengan tulus, walaupun bukan tugasnya.
Ibarat kita menumpang taksi, tetapi dapat pengemudi yang baik. Walau pun sebenarnya tugas sopir taksi cuma mengantarkan kita sampai tujuan, kalau dia mau mengangkat semua barang bawaan kita, juga mau disuruh nyapu, ngepel, masak dan cuci baju, ya kenapa harus dilarang? Asalkan semua dilakukan ikhlas tanpa pamrih, tentu sopir taksi itu dapat pahala di sisi Allah.
Kesimpulannya, menjadi pembantu rumah tangga di rumah sendiri tidak salah buat para istri, walaupun pada dasarnya Islam tidak mewajibkannya.
Wallahu a'lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]