PERTANYAAN ini berawal dari syak (keraguan). Karena kita tidak pernah mendapatkan bukti terkait proses produksinya.
Ada beberapa barang najis yang ada di sekitar kita. Tapi bukan berarti ini menjadi sebab orang harus bersikap was-was. Ketika di jalan yang berair, bisa saja terpikir, “Jangan-jangan ada najis yang nyiprat ke celana.” Tapi keraguan ini tidak bisa dijadikan acuan. Selama tidak ada bukti bahwa ada najis yang nempel di celana kita.
Jika keraguan ini diikuti, justru akan menjadi sumber was-was bagi manusia. Sampai ada orang yang hanya mencuci secuil najis, dia bisa menghabiskan air ber-ember-ember.
Jika semacam ini harus melalui sertifikat halal, masyarakat akan selalu dihantui ketakutan dengan semua properti yang ada di sekitarnya. Sikap ini jutru mengajarkan sikap was-was di tengah masyarakat. Tidak salah jika disebut, ini mencemaskan masyarakat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Memakai Kain dari Syam dan Yaman.
Anda yang membaca sejarah, tentu pernah membaca, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, mereka menggunakan kain impor dari Syam, Yaman, atau Mesir. Karena Madinah bukan produsen kapas.
Ketika itu, Yaman, Syam dan Mesir adalah negeri nasrani. Yang mereka menghalalkan babi dan khamr. Meskipun demikian, tidak dijumpai riwayat, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat memeriksa kesucian pakaian impor itu. Bahkan mereka memakainya.
Untuk masalah pakaian, seharusnya yang lebih diperhatikan adalah modelnya. Apakah sudah syar’i ataukah belum. Karena ini yang erat kaitannya dengan hukum halal haram. Bahan kain, milik muslim dan non muslim bisa jadi sama persis. Yang membedakan adalah cara mereka berpakaian.
Untuk menyemarakkan penyebaran jilbab syar’i, bila perlu, MUI menerbitkan sertifikat halal untuk hijab yang memenuhi standar syariat secara gratis, sekalipun tidak pernah diajukan. Sayangnya belum pernah kita jumpai ada sertifikat MUI untuk cadar, padahal itu wajib dalam madzhab syafi’iyah.
Tidak ada artinya sertifikat halal untuk kainnya, sementara modelnya masih mengundang syahwat. Masyarakat awam bisa saja meyakini jilbab yang dia kenakan telah syar’i, karena ada logo MUI, padahal sejatinya itu jilbab modis. [Ustadz Ammi Nur Baits]