GHULUW atau sikap yang berlebih-lebihan dalam agama merupakan penyakit yang sangat berbahaya dalam sejarah agama-agama samawi (langit). Dengan sebab ghuluw, zaman yang penuh dengan tauhid berubah menjadi zaman yang penuh kesyirikan.
Zaman yang penuh dengan tauhid kepada Allah berlangsung sejak zaman Nabi Adam sampai diutusnya Nuh ‘alaihis salam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu. (Jami’u al-Bayan juz 2 hal. 194. Ibnu Katsir menukilkan penshahihan al-Hakim pada Tafsir beliau juz 1 hal. 237)
Sejak zaman Nabi Nuh inilah syirik tumbuh dengan semarak, padahal kita ketahui bahwa syirik itu adalah dosa yang paling besar dalam bermaksiat kepada Allah. Dengan syirik itu pula akan terhapus pahala-pahala, diharamkan pelakunya masuk ke dalam surga dan dia akan kekal di dalam neraka.
Allah telah menerangkan dalam Kitab-Nya tentang ghuluw (sikap berlebihan di dalam mengagungkan, baik dengan perkataan maupun i’tiqad) kaum Nabi Nuh terhadap orang-orang shalih pendahulu mereka.
Tatkala Nabi Nuh menyeru mereka siang dan malam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi agar mereka hanya menyembah Rabb yang satu saja, dan menerangkan kepada mereka akibat-akibat bagi orang yang menentangnya. Tetapi peringatan tersebut tidaklah membuat mereka takut, bahkan menambah lari mereka dari jalan yang lurus, seraya mereka berkata:
Dan mereka berkata: “Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian, dan janganlah pula kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan janganlah pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr.” (QS Nuh: 23)
Di dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut:
“Mereka adalah orang-orang shalih di kalangan kaum Nabi Nuh, lalu ketika mereka wafat syaithan mewahyukan kepada mereka (kaum Nabi Nuh) agar meletakkan patung-patung mereka (orang-orang shalih tersebut) pada majlis-majlis tempat yang biasa mereka duduk dan memberikan nama patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka, maka mereka pun melaksanakannya, namun pada saat itu belum disembah. Setelah mereka (generasi pertama tersebut) habis, dan telah terhapus ilmu-ilmu, barulah patung-patung itu disembah.” (lihat Kitab Fathu al-Majid bab “Ma ja`a Anna Sababa Kufri Bani Adama wa Tarkihim Dienahum Huwal Ghuluw fis Shalihin”)
Ibnu Jarir berkata: “Ibnu Khumaid berkata kepadaku, Mahran berkata kepadaku dari Sufyan dari Musa dari Muhammad bin Qais: “Bahwa Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah kaum yang shalih yang hidup di antara masa Nabi Adam dan Nabi Nuh alaihimus salam. Mereka mempunyai pengikut yang mencontoh mereka dan ketika mereka meninggal dunia, berkatalah teman-teman mereka:
“Kalau kita menggambar rupa-rupa mereka, niscaya kita akan lebih khusyu’ dalam beribadah.” Maka akhirnya mereka pun menggambarnya. Ketika mereka (generasi pertama tersebut) meninggal dunia, datanglah generasi berikutnya. Lalu iblis membisikkan kepada mereka seraya berkata:
“Sesungguhnya mereka (generasi pertama) tersebut telah menyembah mereka (orang- orang shalih tersebut), serta meminta hujan dengan perantaraan mereka. Maka akhirnya mereka pun menyembahnya.” (Shahih Bukhari dalam kitab tafsir [4920] surat Nuh)
Perbuatan kaum Nabi Nuh yang menggambar rupa-rupa orang-orang shalih yang meninggal di kalangan mereka ini berdasarkan anggapan mereka yang baik dan gambar-gambar ini belum disembah.
Tapi ketika ilmu terhapus dengan kewafatan para Ulama dan ditambah dengan merajalelanya kebodohan, maka inilah kesempatan bagi setan untuk menjerumuskan manusia kepada perbuatan syirik dengan cara ghuluw terhadap orang-orang shalih dan berlebih-lebihan dalam mencintai mereka. [bersambung]