SAAT ini di negara kita tengah ramai kasus pemerkosaan atau kejahatan seksual. Peristiwa teraktual yaitu di Bengkulu dengan korbannya, YY. Para pelaku berjumlah belasan anak remaja berusia antara 15-17 tahun.
Maraknya kasus pemerkosaan menimbulkan kemarahan masyarakat luas. Menurut catatan Komnas Perempuan, pada 2015, misalnya, setiap dua jam sekali, tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual dengan 15 jenis kekerasan.
Publik mendesak agar para pelaku kekerasan seksual dihukum berat bahkan ada yang mengusulkan pengebirian, dan dihukum mati.
Desakan tersebut direspon sejumlah tokoh seperti Megawati Soekarnoputri, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, anggota DPR dan DPD, serta lembaga swadaya masyarakat pada Kamis (12/5/2016). Mereka menandatangi komitmen dukungan pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual pada acara bertajuk "Indonesia Melawan Kekerasan Seksual".
Rancangan UU tersebut agar dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) 2016. RUU ini dinilai dapat menjadi payung hukum yang lebih luas daripada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang juga akan diterbitkan.
Namun, hal itu hanyalah tuntutan dari hukum negara. Lantas bagaimana kasus pemerkosaan ini dalam pandangan hukum Islam? Sebelum membahasnya, sebaiknya kita melihat dahulu arti dari kata perkosaan dimaksud.
Perkosa dalam bahasa Arab disebut al wath`u bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Jika seorang laki-laki memerkosa seorang perempuan, seluruh fuqaha sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 24 hlm. 31; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.18).
Dalil untuk itu adalah Alquran dan sunnah. Dalil Alquran antara lain firman Allah SWT (artinya), "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al An’aam [6] : 145). Ibnu Qayyim mengisahkan ayat ini dijadikan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib ra di hadapan Khalifah Umar bin Khaththab ra untuk membebaskan seorang perempuan yang dipaksa berzina oleh seorang penggembala, demi mendapat air minum karena perempuan itu sangat kehausan. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 365; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294).
Adapun dalil sunnah adalah sabda Nabi SAW, "Telah diangkat dari umatku (dosa/sanksi) karena ketidaksengajaan, karena lupa, dan karena apa-apa yang dipaksakan atas mereka." (HR Thabrani dari Tsauban RA. Imam Nawawi berkata, "Ini hadits hasan"). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364).
Pembuktian perkosaan sama dengan pembuktian zina, yaitu dengan salah satu dari tiga bukti (al bayyinah) terjadinya perzinaan berikut; pertama, pengakuan (iqrar) orang yang berbuat zina sebanyak empat kali secara jelas, dan dia tak menarik pengakuannya itu hingga selesainya eksekusi hukuman zina. Kedua, kesaksian (syahadah) empat laki-laki Muslim yang adil (bukan fasik) dan merdeka (bukan budak), yang mempersaksikan satu perzinaan (bukan perzinaan yang berbeda-beda) dalam satu majelis (pada waktu dan tempat yang sama), dengan kesaksian yang menyifati perzinaan dengan jelas. Ketiga, kehamilan (al habl), yaitu kehamilan pada perempuan yang tidak bersuami. (Abdurrahman Al Maliki,Nizhamul Uqubat, hlm. 34-38).
Jika seorang perempuan mengklaim di hadapan hakim (qadhi) bahwa dirinya telah diperkosa oleh seorang laki-laki, sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada laki-laki itu. Kemungkinan hukum syara’ yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta (manath) yang ada, antara lain adalah sbb:
Pertama, jika perempuan itu mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki Muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan, dan dirajam hingga mati jika dia muhshan. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).
Kedua, jika perempuan itu tak mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, maka hukumnya dilihat lebih dahulu; jika laki-laki yang dituduh memerkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina (al ‘iffah an zina), maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai QS An Nuur : 4. Ada pun jika laki-laki yang dituduh memperkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu tak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz 6 hlm. 453; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.53; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 346).
Mencermati kasus pemerkosaan YY, siswi SMP hingga tewas, dan dengan bukti-bukti yang kuat, maka sangatlah pantas jika para pelaku dihukum dengan sangat berat. Tapi pengadilan telah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada sejumlah pelakunya. Artinya, tuntutan pengebirian, dan hukuman mati bagi pemerkosa belum direalisasikan. Akankah tuntutan publik itu direspon dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual? Dengan demikian, kita tunggu DPR untuk mengesahkan RUU itu menjadi UU.
Kalau saja negeri ini menganut hukum Islam, maka para pelakunya akan berhadapan dengan hukuman rajam hingga tewas atau setidaknya dicambuk 100 kali agar menimbulkan efek jera. Sehingga kasus pemerkosaan tidak marak seperti sekarang ini.
Semoga kita dan keluarga kita terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Amin ya Robalalamin. []