INI kisah tentang rahmat di balik sebuah pernikahan yang tak lumrah. Kisah cinta antara Ghadeh Jabir dan Mustafa Chamran. Antara seorang gadis Lebanon dan seorang pujangga gerilya yang belakangan dikenal dunia sebagai Menteri Pertahanan Republik Islam Iran yang pertama.
Invasi Israel ke Lebanon Selatan tahun 1970-an mempertemukan Ghadeh dan Mustafa untuk kali pertama. Mereka sama-sama suka puisi dan sama-sama membenci kebiadaban Israel. Tetapi untuk melangkah ke jenjang pernikahan, jurang yang memisahkan mereka terlampau dalam.
Ghadeh anak pedagang berlian kaya di Lebanon. Seumur-umur dia tak mengenal susah. Dia telah bertualang ke Eropa dan Afrika semenjak kecil dan saat usianya menginjak dewasa, dia telah menikmati karier sebagai seorang jurnalis. Mustafa ada di ujung yang lain. Dia aslinya dari Iran. Usianya 20 tahun lebih tua. Rambutnya sudah botak. Dia tak punya nasab yang jelas, tak punya pekerjaan tetap, tak punya rumah tinggal, tak punya KTP, tak punya apa-apa.
Di Lebanon Selatan, dia tinggal di sebuah ruangan yayasan yang menampung anak-anak yatim piatu. Isi kamarnya di yayasan itu hanya buk dan kardus-kardus bekas yang sekaligus menjadi alas tidurnya. Dan yang membuat orangtua makin cemas adalah aktivitas sehari-hari Mustafa dekat dengan maut. Sejak tinggal di Lebanon pada akhir 70-an, Mustafa aktif mendidik anak-anak muda Lebanon untuk bersatu dan membangun kekuatan demi melawan pasukan penjajah Israel.
Saat tahu anaknya telah jatuh cinta dan nekat menikah, ibunda Ghadeh hanya bisa meradang. Dia mengeluarkan sumpah serapah setiap kali melihat calon menantunya. Dia bahkan berkali-kali pingsan dan terakhir harus diinfus di sebuah rumah sakit di Beirut. Tetapi Mustafa, kendati menyeramkan dan terkesan tak layak sama sekali dianggap calon menantu, justru punya sentuhan emas. Saat sang Ibunda jatuh sakit, dialah yang menggendongnya hingga ke rumah sakit dan menjaganya sepenuh hati, layaknya ibu sendiri.
Hati Ibunda Ghadeh pun luluh karena kebaikannya itu. Dia akhirnya merestui pernikahan mereka. Kendati, dia mewanti-wanti Mustafa tentang karakter anak perempuannya. "Tiap pagi setelah bangun tidur," katanya, "dia langsung pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi. Harus ada orang lain yang merapikan tempat tidurnya. Segelas susu harus dibawakan ke kamarnya dan secangkir kopi juga harus disiapkan untuknya.
Kau takkan bisa hidup dengan gadis seperti ini, sementara kau takkan mampu mencarikan pembantu rumah tangga untuk melayaninya. Dan, semua itu ada di rumahnya." Mustafa tahu bebannya berat. Tetapi, dia mencoba menenangkan hati sang Ibunda, "Saya memang tak mampu mencarikan pembantu rumah tangga untuknya," katanya. "Tetapi saya berjanji, selama saya masih hidup, setiap kali Ghadeh bangun tidur, saya akan merapikan tempat tidurnya dan membawakan untuknya segelas susu dan secangkir kopi di atas nampan!"
Dalam sebuah memoar, Ghadeh menuliskan kenangannya atas janji suaminya itu: "Mustafa benar-benar menepati janjinya hingga dia mati syahid. Bahkan ketika tak berada di rumah kami, tetapi di Kota Ahwaz (Barat Daya Iran) dan di medan pertempuran (perang yang dipaksakan Saddam terhadap Iran, 1980-1988), Mustafa tetap bersikeras merapikan tempat tidur kami dan membawakan segelas susu untukku. Meski Mustafa tak biasa minum kopi, namun dia selalu membuatkan kopi untukku. Dia tahu bahwa kami orang Lebanon biasa minum kopi."
Kisah cinta Ghadeh dan Mustafa selebihnya bisa dibaca di Chamran be Rewoyat-e Hamsar-e Syahid. Buku ini telah dialihbahasakan oleh Penerbit Qorina pada Desember 2004 dan diterbitkan dengan judul Mustafa Chamran.
Sumber: Kabar Gembira bagi Pendosa, Musa Kazhim & Alfian Hamzah (2012)