INILAHCOM, Jakarta - Dewasa ini tidak jarang kita jumpai ceramah atau pidato yang dilakukan seorang ustadz juga politikus, suka mencela atau menghina orang lain. Padahal, ajaran Islam melarang hal itu.
"Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu". (QS Al Hujuraat [49:6]
Pengertian orang fasik sebagaimana firman Allah SWT adalah orang yang secara sadar melanggar larangan atau hukum agama. "(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS Al Baqarah [2:27)
"Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahanam." (QS Sajdah [32]:20)
Siapakah orang fasik yang harus diperiksa berita atau perkataan yang disampaikannya? Contoh orang fasik adalah orang-orang yang mempunyai cela karena melanggar larangan Rasulullah seperti orang-orang yang menyampaikan atau berdakwah dengan celaan atau menertawakan, meremehkan, merendahkan, memperolok-olok, menghujat atau berdakwah dengan kekerasan.
Rasulullah SAW bersabda, "Mencela seorang Muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran". (HR Muslim)
Ada ulama yang gemar mencela karena salah memahami istilah jarh wa ta’dil. Dalam permasalahan periwayatan hadis memang dikenal istilah jarh yakni melihat apakah orang itu adil (kuat riwayat) atau majruh (lemah riwayat), disebut majruh karena ia mungkin punya cela seperti pernah berdusta, atau pernah kena penyakit lupa, maka ia majruh (terluka=maksudnya ada cela atau aib pada riwayatnya). Jadi jarh artinya mempunyai cela bukan mencela.
Imam Bukhari rahimahulllah yang menjadi raja seluruh Muhaddits berkata: "Aku tak mau menyebut aib-aib orang dalam riwayatku, karena aku tak mau dikumpulkan oleh Allah dalam kelompok ahlul ghibah". (Siyar fii a’lamunnubala dan Tadzkiratul Huffadh).
Celalah sebuah kesalahpahaman atau kesesatan, namun jangan mencela orang yang salahpaham atau pelaku kesesatan. Celalah perbuatan maksiat, namun jangan mencela pelaku maksiat (orangnya). Celalah kekafiran tetapi jangan mencela orang kafir. []
↧
Berdakwah jangan Mencela Pelaku Kesesatan
↧