INILAHCOM, Jakarta - Suara isak tangis itu semakin lama semakin mereda. Sesekali terdengar sesenggukan beberapa orang di sekitarku. Derap langkah pelayat lambat laun semakin menjauh diiringi oleh deru motor dan mobil yang meningggalkan tanah pekuburan ini. Kini tinggallah aku dan ibuku yang berdiri termangu di depan kuburan ayahku.
Hari Minggu itu adalah hari terakhirku bersama ayahku. Kecelakaan maut di Tugu Tani itu telah merenggut nyawa ayahku yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kebersihan jalan. Tak pernah terpikir olehku bahwa ayahku akan dipanggil secepat itu.
Ingatanku melayang jauh di masa kecilku. "Andi, pulang nak! Sudah sore, sebentar lagi Maghrib", suara khas itu berasal dari ayahku. Setiap sore dia selalu mencariku. Aku pun segera bersembunyi di balik semak di dekat lapangan supaya dia tidak melihatku karena aku masih ingin melanjutkan bermain. Setelah mondar-mandir mencariku, dan tidak menemukanku akhirnya ia pulang ke rumah untuk menyiapkan air hangat untukku.
Malam itu aku pulang jam delapan malam. Pelan-pelan, aku membuka pintu rumah. "Krieeeeek", derit pintu yang sudah lapuk itu tidak bisa menyembunyikan kedatanganku. Kulihat ayah dan ibuku sudah menungguku di depan pintu.
"Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang. Mau jadi apa kamu?" bentak ibuku. Aku pun tertunduk tanpa mampu menjawab. Jeweran di telingaku pun terasa perih. Ibu menggeretku masuk ke kamar mandi dan memandikanku. Rasa kesal dan marah bercampur pada diriku.
"Sana makan dan tidur. Besok kamu tidak boleh bermain!" suara ibu masih menggetarkan ruangan ini. Rasa dendam pun menggumpal dalam hatiku.
Malam itu kulihat ayah dan ibuku sedang tidur. Segera kuambil semua duit yang di laci dan sekantong beras di meja. Malam itu aku pergi meninggalkan rumah. Dengan mengendap-endap, akhirnya aku keluar dengan aman tanpa diketahui oleh siapa pun. Aku segera pergi ke kolong jembatan tempat biasa aku bermain. Aku pun melanjutkan tidur di sana. Tiba-tiba ada suara berisik mendatangiku. Aku pun segera bangun dan mengambil kantong beras dan dompetku.
Sebuah tangan segera mencekikku. Rasa ketakutan mulai menjalar di hatiku. Dua orang preman terlihat di depanku. Salah satu dari mereka memegang pisau pendek. Tangannya secepat kilat merebut kantung dan dompetku. Aku hampir saja tidak dapat bernapas karena cekikan yang terlalu kencang. Seketika aku pun menggigit tangannya dan terlepaslah cekikan di leherku.
"Bunuh saja anak ini," kata pria gemuk yang ada di sampingku. "Tolooong-toloong", aku pun berteriak sekuat tenaga.
Kulihat sebuah kilatan pisau mengarah ke ulu hatiku. Tiba-tiba muncul lelaki kurus yang memukul lengan itu. Terjadilah pengeroyokan terhadap lelaki itu. Aku pun terus berteriak minta tolong.
Perkelahian itu terlihat tidak seimbang. Saat lelaki itu terjatuh, salah seorang preman itu segera menendangkan kaki ke perutnya. Lelaki itu pun berguling ke kanan menghindari. Tiba-tiba sekelabatan pisau menusuk ke pahanya. Lelaki itu belum mampu bergerak dan tak pelak darah segar muncrat ke mukaku. Suara sirine polisi terdengar di kejauhan. Para preman itu pun segera kabur. Kudekati lelaki penolongku itu. Kulihat dia sedang pingsan. Beberapa orang mulai berdatangan menolongku. Sejenak kupandangi lelaki itu. Astaga, ternyata dia adalah ayahku.
Sejak saat itu kaki ayahku menjadi pincang. Meskipun pincang, tiap adzan subuh berkumandang, dia selalu menggendongku ke masjid karena sering kali aku masih mengantuk dan malas bangun pagi. Kadang-kadang tetanggaku menjulukinya si pincang. Perasaan bersalah itu sering kali hadir di hatiku.
Suatu saat kutanyakan kepadanya, "Ayahku, apakah engkau malu dengan kepincanganmu?". Sejenak dia memandangku dan menjawab: "Anakku, engkau adalah anugerah terbaik dari Allah untukku. Terik panas jalanan yang kusapu tiap hari kurasakan sejuk saat mengingatmu tersenyum dengan perut kenyang. Kurelakan malam-malamku untuk menjagamu saat engkau sakit. Tangisanmu ketika lahir adalah obat rasa sakit ibumu yang telah bergelut dengan maut untuk melahirkanmu. Ketahuilah anakku, cucuran keringat, tengadah doa dalam sujud pada Allah di malam hari bahkan tetesan darah akan selalu tersedia demi kebahagiaanmu."
"Ayah. Aku masih ingat kata-katamu. Seandainya engkau masih hidup, akan kuturuti semua kata-katamu. Hari ini engkau telah pergi dariku. Aku pasti akan selalu merindukanmu.Aku akan jaga ibuku sepenuh hatiku. Aku akan temani engkau dengan doa-doaku di setiap shalatku. Selamat jalan ayahku!", teriakku dalam hati.
Rintik-rintik hujan mulai turun seiring dengan kepedihanku meninggalkanmu di sini.
"Siapa yang celaka?. Rasulullah menjawab, "Orang yang mendapati tuanya (dalam keadaan tua) lalu dia (tidak berbakti), maka dia masuk neraka." (HR. Bukhari). []
Riswanto Warih Prabowo, Aktivis Dakwah Kampus ITB 99
Tag: Ayah, Rasulullah, Muhammad, Hikmah
↧
Kenangan Bersama Ayah
↧