INILAHCOM, Jakarta -- Ibadah haji sering dikiaskan sebagai perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusiaan, menjadi makhluk yang lebih rendah.
Bukannya menjadi khalifah Allah, kadang kita menyerupai babi, monyet, serigala dalam kehidupan kita. Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, para jamaah haji seolah seruling bambu yang selalu menjerit pilu karena tercerabut dari rumpunnya. Sebagai manusia, dia hanya akan menjadi manusia lagi ketika kembali kepada Allah; Ilah, zat yang kita rindui.
Para jamaah haji adalah kafilah seruling yang ingin kembali ke rumpun abadinya. Rombongan binatang yang hendak kembali menjadi manusia. Lihatlah, di Miqat mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya. Melepaskan baju-baju kebesarann yang seringkali menimbulkan pongah, dan menggantinya dengan kain kafan, putih bersih, ihram namanya.
Lalu mengapa kepada mereka yang berkehendak menjadi manusia sejati, yang tubuhnya menapak di bumi tetapi dengan ruh yang bergantung di arasy ini, kita masih tega mempersulit? Masih tega mengambil untung, menarik laba dengan begitu loba? Barangkali, sudah saatnya kita membersihkan niat. Sudah waktunya pemerintah menjadi pelayan yang memudahkan urusan mereka, bukan menyulitkan seraya menarik aneka dana.
Mudahkanlah mereka yang merindu Baitullah, untuk mendatangi, menangis di sana. Jangan justru karena terpikat dana, negara seperti tak punya urusan lain dan berkehendak mengambil-alih pengurusannya. [dsy]