INILAHCOM, Jakarta-- Menurut para sufi, ruh kita adalah sais dari kereta yang ditarik sepuluh kuda. Lima kuda lebih liar dibanding lainnya. Kuda-kuda yang lebih liar itu adalah lima indra batiniah kita, lima lainnya indra lahiriah.
Puasa lahiriah, selain menahan makan-minum dan nafsu seksual, adalah menahan pembicaraan, pendengaran, penglihatan, penyentuhan, dan penciuman. Saat kita tahan pembicaraan, bukan saja dari berdusta—salah satu dari lima amalan yang mereduksi keagungan puasa kita menurut Rasul--, bergunjing, tetapi juga kelebihan pembicaraan kita dari hal-hal yang tak perlu. Nabi SAW bersabda,”Berbahagialah orang yang menahan kelebihan bicaranya, dan memberikan kelebihan hartanya.”
Berdasar hadits,”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu,” kita diperintahkan untuk mengendalikan anak-anak buah kita yakni indra-indra batiniah itu—pikiran, ingatan, khayalan, rasa dan indra yang menggabungkan semuanya. Puasa, adalah riyadhah (latihan) untuk itu.
Maka puasa pikiran adalah latihan menahan segenap pikiran yang hanya difokuskan pada upaya pemenuhan kebutuhan jasmani semata. Caranya, banyaklah memikirkan ayat-ayat Allah yang tertebar dalam quran maupun yang terserak di alam.
Puasa ingatan, adalah mengeluarkan semua ingatan yang mengotori memori, menjadi racun di otak. Rasa sakit hati, dendam, dengki, terutama. Gantikan dengan ingatan akan asma Allah yang maha murah, maha kasih, mahapenyayang, maha lembut. Ini akan melembutkan hati kita.
Puasa khayalan adalah memuasakan kemampuan kita untuk mengkhayalkan sesuatu yang kaitannya semata kenikmatan dan kepuasan nafsu. Isilah dengan khayalan untuk menghadirkan Allah dalam setiap tarikan nafas kita. Bukankah dalam satu hadits dikatakan bahwa kita harus selalu mengedepankan ihsan, atau beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya. Jika kita tidak mampu melihat-Nya, sadarlah bahwa Dia selalu melihat kita.
Puasa rasa adalah mengarahkan rasa benci dan suka kita. Semua rasa yang berkenaan dengan makhluk ditinggalkan, dengan mencoba menunduk dalam kecintaan akan Allah SWT. Nabi SAW bersabda,”Siapa yang benci karena Allah, cinta karena Allah, sempurnalah imannya."
Mereka yang telah berada di maqam ini, akan setegas Abu Dzar yang berkata,”Lebih baik aku dimarahi manusia dengan keridhaan Allah, ketimbang disukai manusia dengan membawa kemurkaan Allah.”[dsy]