SAUDARAKU. Ada sebuah kisah tentang seseorang yang bernama Abul Khair. Ia datang dari jauh, hingga pakaiannya kumal dan kudanya lelah untuk menemui Rasulullah saw. Ketika bertemu ia berkata, “Ya Rasul, saya datang kepadamu hanya dengan satu pertanyaan.” “Apa pertanyaannya?” kata Rasul. Ia melanjutkan, “Apakah ciri-ciri orang yang dicintai Allah?” Rasul pun kembali bertanya, “Apa yang engkau rasakan?”
“Ya Rasul, saya senang sekali kepada kebaikan, saya sangat senang melihat orang lain berbuat baik, saya sangat senang melihat kebaikan tersebar, dan saya amat sedih kalau tidak bisa berbuat kebaikan,” jawabnya. Lalu Rasul berkata, “Sekiranya Allah tidak mencintaimu, Engkau tidak akan memiliki perasaan itu.” “Cukup, ya Rasul,” ucapnya seraya berpamitan dan langsung pulang lagi.
Nah, saudaraku. Begitulah ciri-ciri orang yang dicintai Allah. Bahwa Allah menanamkan di hatinya rasa senang kepada kebaikan. Berbuat baik itu sendiri adalah perintah Allah. “Dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. al-Qashash [28]: 77).
Namun, dalam berbuat baik itu tujuannya bisa bermacam-macam. Seperti memberi atau bersedekah. Ada yang memberi karena ‘ada badak di balik kerikil’. Memberi karena ingin disebut baik, ingin dikenal sebagai orang baik maupun yang ingin meraih piagam penghargaan. Beragam kebaikan itu belum tentu menjadi kebaikan dalam pandangan Allah. Atau mungkin hanya menjadi kebaikan di mata makhluk, bukan kebaikan yang ihsan.
Kebaikan yang ihsan sudah tidak pusing apa pun, kecuali berharap kebaikannya diterima Allah. Orang yang baiknya ihsan, tidak ragu bahwa setiap kebaikan pasti ada balasan. Karena, “Apakah ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan pula? Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?” (QS. ar-Rahman [55]: 60-61). Kebaikan yang ihsan itu menembus sampai ke lubuk hati yang paling dalam yaitu tujuan kebaikannnya hanyalah ridho Allah SWT.
Jadi, kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan yang sampai di pori-pori hati, atau sampai di dalam hati. Orang boleh jadi bicaranya baik, tapi hatinya bisa jadi tidak baik. Penipu bicaranya bagus, tapi hatinya tukang tipu. Nah, Allah tidak bisa dibohongi. Makanya kebaikan dalam standar yang ditetapkan Allah itu adalah kebaikan yang ihsan.
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada hartamu dan rupa kekayaanmu, tetapi Allah memandang kepada hatimu dan amal perbuatanmu.” (HR. Imam Muslim)
Kita harus berbuat baik dengan standar kebaikan yang disukai Allah, kebaikan yang ihsan. Yang disebut akhlakul kharimah adalah baik dalam pandangan Allah. Bukan baik sekadar baik menurut pandangan orang. Karena ada juga penjahat dianggap baik, gara-gara dia merampok 100 juta lalu memberi 100 ribu kepada yang dirampoknya untuk ongkos pulang. Yang begitu dipandang oleh orang-orang sebagai bijaksana, padahal dia perampok.
Nah, saudaraku. Umpamanya seperti sebuah kisah pertempuran yang pernah saya baca. Saya mohon maaf kalau ceritanya di sini kurang akurat. Jadi, dalam sebuah pertempuran ada benteng musuh yang susah ditaklukkan. Lalu, di tengah gejolak pertempuran ada prajurit yang menghampiri komandannya, meminta izin bersama beberapa prajurit untuk membuat lubang. Kemudian lubang berhasil dibuat, dan bobollah pertahanan lawan. Akhirnya benteng pun bisa direbut.
Kemudian, sang komandan tadi berkata di depan pasukannya, “Tolong beritahu saya, siapa yang semalam punya inisiatif membobol benteng?” Tapi tidak ada yang mengaku. Komandannya berkata lagi, “Tolong beritahu! Saya mohon karena Allah.” Nah, karena sudah meminta “karena Allah”, maka tidak bisa menolak.
Ada seorang yang mengacung, “Saya tahu orangnya komandan.” “Baiklah, beritahu siapa orangnya,” kata komandan. Maka, majulah yang mengacung itu menemui komandannya, dan berkata, “Dia mengajukan tiga syarat.” “Baiklah, apa saja?” tanya komandannya. “Satu, dia tidak mau diumumkan.” “Baiklah,” jawab komandan. “Kedua, dia tidak mau mendapat balasan apa pun.” Komandan mengangguk, “Baiklah.” “Ketiga, dia minta kalau sudah dipanggil jangan dipanggil lagi.” “Baiklah,” jawab komandannya lagi. “Siapa orangnya?” “Saya,” jawabnya seraya langsung pergi.
Rasanya berbeda dengan kita. Kita tidak dipanggil juga mengacung, atau sengaja minta dipanggil oleh pembawa acara. Bahkan ada pula yang tidak berbuat apa-apa, tapi dengan tenang dan bergaya pahlawan berani mengklaim diri telah berbuat kebaikan besar.
Jadi, saudaraku. Baik dalam pandangan orang belum tentu baik asli, sebab orang hanya bisa melihat lahiriahnya saja. Tapi, “Sungguh! Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah pantas Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Padahal Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Mulk [67]: 13-14)
Kita tidak usah merisaukan penilaian orang dalam berbuat kebaikan. Karena sebaik apa pun kita, pasti ada orang yang ditakdirkan tidak suka kepada kita, dengki hingga menghina. Bagaimana pun sikap orang yang tidak suka itu, tidaklah bahaya. Yang bahaya adalah kalau kita tidak termasuk orang-orang yang kebaikannya ihsan. [*]