MUNGKIN saudara pernah mendengar cerita tentang makhluk yang paling tangguh. Dikisahkan ketika gunung batu yang kokoh diciptakan. Lalu ditanya adakah yang lebih kuat dari gunung batu itu? Ada, yaitu besi.
Oleh besi, gunung pun dipangkas habis. Lalu adakah yang lebih kuat dari besi? Ada, yaitu api. Besi yang berhasil memangkas gunung itu dibakar sampai melumer. Lalu adakah yang lebih kuat api? Ada, yaitu air. Api pun disiram habis. Dan adakah yang lebih kuat dari air? Ada, yaitu angin. Air yang perkasa itu diangkat dan dihempaskan oleh angin.
Jadi, gunung batu hancur oleh besi, besi lumer oleh api, api kalah oleh air, dan air terjungkal oleh angin. Tapi, apa masih ada makhluk yang lebih kuat dari angin? Ada, yaitu orang yang memberi dengan tangan kanan, dan tangan kirinya tidak tahu. Itulah makhluk yang paling perkasa. Orang yang paling ikhlas pasti ringan untuk berbuat kebaikan apa pun.
Nah, saudaraku yang baik. Ayo, kita sederhanakan saja. Kita senang mendengar orang berbuat baik, apalagi kalau yang dibaiki adalah kita. Misalnya kita senang mendengar ada orang dermawan, apalagi kalau kita yang diberinya apartemen, tabungan, ongkos naik haji, dan kuda. Kita pasti lebih senang. Tapi sebetulnya ada yang lebih tinggi lagi dari rasa senang itu. Yaitu kalau kita berbuat kebaikan dengan ikhlas.
Orang-orang yang ikhlas berbuat baik itu, diberi Allah hadiah kepuasan atau kenikmatan, sehingga tidak ada luka di hatinya. Karena Allah yang membolak-balikkan hati. Nikmat tidaknya berbuat baik tergantung pada ikhlas tidaknya kita. Kalau melakukan kebaikan dan tidak ikhlas, maka bisa langsung hilang rasa nikmatnya berbuat baik itu. Sedangkan orang yang ikhlas, tidak pernah ada kecewanya dalam berbuat kebaikan.
Misalkan ada istri yang membuatkan sarapan untuk suami, “Pak, makan dulu.” Suaminya menjawab, “Aduh maaf bu, lagi buru-buru, banyak kesibukan di kantor.” Mendengar jawaban itu, istrinya langsung, “Eghh! Tuh, nak, lihat bapakmu ngga punya perasaan. Ibu capek masak ini, kamu yang bantu juga kan?” Kata anaknya, “Iya bu, ayah memang tidak punya perasaan.” Kompak ibu dan anak kurang ikhlas. Jangan, saudaraku.
Kalau dari judul tulisan ini, ‘lagu’ itu termasuk yang kurang ikhlas. Kalau kita ikhlas, tidak ada sakit di hati, baik oleh sikap, perilaku maupun balasan dari orang yang kita baiki. Hati terluka karena berbuat baik kita berharap dihargai, dipuji, dikagumi atau dicintai oleh makhluk.
Saudaraku. Kita diperintahkan Allah supaya berbuat kebaikan, dan harus ikhlas. Bukan sekadar baik menurut pandangan makhluk, tapi kebaikan dalam pandangan Allah SWT. Yakinkan diri bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. at-Taubah [9]: 120). Dan,“Apakah ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan pula?” (QS. ar-Rahmân [55]: 60)
Selama ini saja kita kurang baik, tapi Allah tetap berbuat baik terhadap kita. Apalagi kalau kita berbuat baik. Seperti kita atau saya, seharusnya tidak pantas diberi berbagai karunia. Kalau Allah mau perhitungan, bagi kita yang pantas adalah disambar petir. Kita harus fokus berbuat baik, karena Allah pasti melihat dan pasti ada balasannya.
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang melapangkan suatu kesusahan dari beberapa kesusahan seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melapangkan untuknya satu kesusahan dari berbagai kesusahan di hari kiamat. Barang siapa memberikan kemudahan kepada seseorang yang kesusahan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu memberikan pertolongan kepada hamba-Nya, selama hamba-Nya itu suka memberikan pertolongan kepada saudaranya.” (HR. Muttafaq 'alaih)
Bahkan, seharusnya kita malu berharap pahala dari suatu kebaikan. Seperti ketika salat isya sebelum pengajian di Daarut Tauhiid. Seharusnya kita bukan berharap pahala, tapi lebih berharap ampunan Allah. Karena Allah mengetahui kalau misalkan salat kita tidak benar, atau yang niatnya datang waktu itu adalah untuk mencari jodoh. Tapi Allah Yang Mahabaik masih menutupinya, sehingga kita disangka orang yang khusyuk dan saleh.
Jadi, ayo kita berbuat kebaikan sekecil apa pun, di mana pun, dan ikhlas. Ketika Allah memberi hadiah atau balasan, maka yang utama adalah hati kita dibuat nikmat. Karena yang terpenting kita puas karena kebaikan kita diterima-Nya. Balasan yang paling kita harapkan adalah keridaan Allah. Kemudian kita diberi-Nya istiqamah untuk terus berbuat kebaikan.
Kita fokus saja berbuat kebaikan, dan berhenti berharap kepada makhluk. Orang-orang yang berharap atau bersandar kepada makhluk, tidak ikhlas, riya’ hingga ujub dan takabur, kalau berbuat baik pasti mudah atau sering merasa sakit hati.
Seperti ayah yang mengantar anaknya ke sekolah karena ingin dianggap sebagai bapak yang baik. Dari rumah helmnya dibuka supaya wajahnya kelihatan. Tapi karena kesiangan, sampai di sekolah sudah mulai belajar dan tidak ada yang melihat. Lalu si ayah berkata, “Cepat turun, ayah sudah terlambat ke kantor.”
Begitulah. Orang yang tidak ikhlas ‘memperdagangkan’ dirinya, anaknya atau yang lain supaya dia dianggap baik. Dia mudah terluka, dan sering merasa sengsara. Padahal besar kemungkinan kita semua hafal lagu yang ikhlas, “Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya, menyinari dunia.” [*]