INILAHCOM, Jakarta -- Berikut ini kutipan khutbah KH Hasyim Asy’ari dalam Muktamar ke-16 Nahdlatul Ulama; 23-26 Rabiul Akhir 1365 H / 26-29 Maret 1946 di Purwokerto.
Muktamar saat itu begitu fenomenal. Selain berlangsung dalam suasana revolusioner di mana negara Indonesia masih belum genap berumur satu tahun, beberapa keputusan muktamar ini juga ikut mendongkrak perlawanan bersenjata rakyat Indonesia.
KH Hasyim Asy’ari berkata: …Bahwasannya kita dulu di masa penjajahan senantiasa bersembunyi-sembunyi mengecat (memoles) gerakan yang kita pakai untuk membangkitkan hati umat, untuk mencerdaskan otak mereka, dan untuk menyusun barisan mereka, dengan cat keagamaan semata-mata yang tidak berbau politik.
Padahal gerakan kita itu pada pokoknya politik, sebab tidak akan terapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan. Sedangkan kedua hal ini (kemuliaan dan bangkitnya syariat Islam) adalah pokok utama yang diperjuangkan oleh perhimpunan kita. Sekarang umat Islam Indonesia telah melepaskan diri dari ikatan perbudakan, dan telah melepaskan debu kehinaan dari dirinya. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak mencobanya dengan cobaan yang akhir, agar umat Islam Indonesia memperoleh akibat yang baik, yaitu kemuliaan yang berlipat ganda dan kehormatan banyak.
Mereka kaum penjajah sekarang datang dengan pemimpin-pemimpinnya, alat-alatnya, barisan-barisannya dan perkakas-perkakasnya untuk menjajah kita kembali. Selain itu, mereka membawa hal yang lebih hebat dan lebih licin lagi, yaitu tipu muslihat dan manusia syaitonnya yang membisikkan keragu-garuan ke dalam hati orang Indonesia yang lemah imannya dan orang yang memang hatinya berpenyakit.
Maka kewajiban kita sebagai umat Islam Indonesia ialah harus mengambil sikap sebagaimana sikap kaum muslimin pada periode awal dulu sebagaimana disebutkan Allah dalam QS. Ali Imran ayat 173: “…..(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.
Kita harus memusatkan segala tenaga kita dan mengumpulkan segala kekuatan kita untuk menghadapi bahaya dari luar. Adapun mereka tukang membisik-bisikkan keraguan yang pekerjaannya mengkocarkacirkan barisan kaum muslimin dan melemahkan kekuatan mereka. Maka mereka itu sendiri di dalam percekcokan. Allah akan mencukupi kita melawan mereka itu. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Dan kita wajib menginsafkan umat seluruhnya, yang kecil, yang besar, yang tinggi, yang rendah, yang laki-laki dan yang perempuan, bahwasannya peperangan sekarang sudah menjadi fardlu ‘ain, tidak boleh ada yang ketinggalan. Para ulama telah menerangkan bahwa pokok hukumnya peperangan adalah fardlu kifayah (yang cukup dijalani sebagian muslim saja).
Akan tetapi, jikalau kaum kafir telah memasuki negeri Islam atau menyerbu ke dekat negeri Islam, maka peperangan hukumnya menjadi fardlu ain (yang harus dijalankan oleh setiap orang Islam), baik laki-laki maupun perempuan, baik yang bersenjata maupun tidak memilikinya, baik yang kuat maupun yang lemah.
Saudara-saudaraku yang terhormat…
Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan, sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak ikut berjuang bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut di dalam Surat Attaubah ayat 95: “Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.”
Demikianlah sesungguhnya pendirian umat telah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.
Barang siapa memihak kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti ia memecah kebulatan pendirian umat dan mengacaukan barisannya. Dan untuk orang yang sedemikian halnya, tepatlah sabda junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya: “Bahwa sesungguhnya akan datang fitnah dan pencederaan, maka barangsiapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang, siapapun juga orang itu!
Allah juga telah berfirman dalam QS Attaubah ayat 120: “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
Gerakan Islam pada masa ini dan hubungannya dengan masa datang bukanlah gerakan untung rugi, akan tetapi gerakan yang pada pokoknya satu di antara dua. Islam hidup dan umat Islam mulia atau Islam runtuh dan umat Islam musnah. Maka tidak boleh seorang muslim Indonesia—istimewa pula seorang kiai atau pemimpin Islam—tidak turut serta di dalam gerakan hidup atau mati bagi Islam di masa ini.
Hendaklah yang menghadiri muktamar ini menyampaikan amanat ini kepada teman-temannya yang tidak hadir. Allah telah berfirman dalam QS. An-Nur ayat 55: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
[KH. Saifuddin Zuhri, yang saat itu menjabat sebagai Konsul NU Wilayah Kedu yang berkedudukan di Purworejo mencatat khutbah pembukaan muktamar ini dengan cermat disertai komentar, “Kembali pada sikap awal sebagai bagaian dari perjuangan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan, para tokoh nasional berpedoman pada konstitusi negara dan nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks ini, NKRI merupakan harga mati dan Pancasila sebagai dasar negara. Tanpa common platform semacam ini, mustahil kita membangun bangsa yang sangat plural dari segi apapun. Apapun bisa terjadi terhadap kesatuan negara Republik Indonesia jika kita mengabaikan platform yang dilahirkan oleh para founding fathers kita.” [ ]
Dikutip dari www.muktamarnu.com